#11 Darah & Amarah

28 4 0
                                    

Ponselnya bergetar. Pesan dari Avila yang terkirim tadi malam baru saja masuk. Artha semalam sengaja membiarkan ponselnya mati. Ia tak ingin waktu untuk merenungkan kekecewaannya diganggu oleh orang lain, entah secara langsung maupun lewat pesan singkat.

Jempolnya mengeklik notifikasi itu. Didapatinya beberapa gambar yang harus ia download terlebih dahulu. Matanya terbelalak seketika usai menatap gambar-gambar yang dikirim Avila. “BANGSAT!” Sepatah kata yang mewakili perasaan kala itu.

Di gambar tersebut terdapat dua sejoli yang sedang berboncengan dengan motor gede milik si cowok, Braga. Braga mengantarkan pulang Sayla lantaran ia disuruh segera pulang oleh Marina. Sedangkan motornya Sayla masih di bengkel dan ditinggal di situ untuk sementara.
Avila dan Liora yang membuntuti mereka berdua berhasil menjepret kejadian itu dengan kamera handphone-nya.

Semua momen yang terjadi di sore hari itu berhasil ia abadikan. Mulai dari Braga mengantar Sayla pulang, trus Braga yang mengantar Marven dan Marina ke rumah sakit terdekat, hingga Braga yang mengantar Sayla kembali ke bengkel untuk mengambil motor.

***

Menanggapi foto-foto tersebut, Artha bergegas menelepon Avila. “Siapa tuh cowok?” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Artha usai Avila menerima panggilan tersebut.

“Itu Braga, mantannya Sayla,” jawab Avila.

“Anak sekolah mana si Braga itu?”

“SMK Andalas.”

“Kirim kontaknya ke gue!” seru Artha sebelum mematikan panggilan tersebut.

Artha langsung bergegas menuju ke sekolah. Rasa amarah yang menggebu ia lampiaskan ke Gata dengan dikendarainya motor bebeknya itu dengan sangat kencang.

Pikirannya masih kacau. Timnya kalah dalam pertandingan futsal, dengan ia yang jadi penyebab kekalahannya. Tidak datangnya Sayla ke tribun dan malah berduaan sama mantannya, Braga.

Perjalanan belum ada sepuluh menit. Namun, Gata telah memasuki tempat parkir. Lima menit lagi bel akan berbunyi. Kedua kakinya begitu lincah menapaki jalan menuju gerbang sekolah. Tangan kanannya menenteng tas sepatu untuk latihan futsal sepulang sekolah.

“Jaketnya dilepas!” seru salah satu guru yang berjejer menyalami para muridnya yang berdatangan. Artha mengiyakan perintah tersebut dan tak lama jaket hijau army itu telah ada di genggaman untuk dibawa masuk ke sekolah.

Langkah kakinya kini diperlambat dengan perlambatan sekitar tiga meter per detik. Menikmati keindahan yang dimiliki sekolahannya itu. Menapaki ubin demi ubin yang terpasang rapi di koridor kelas.

“Mas Artha,” sapa salah satu cewek yang duduk di sebuah kursi depan kelas X IPA 7 bersama gerombolannya.

Artha melempar senyum ke arahnya. Memang rasa amarah masih menyelimuti diri Artha. Namun, ia juga tau kepada siapa amarahnya tersebut dilampiaskan. Dan ketika ada seorang yang menyapanya pun ia juga masih bisa merekahkan senyum.

Segerombolan cewek-cewek tersebut menjerit histeris usai mendapat balasan senyum dari Artha. “Mas Artha ganteng banget.” Ucap salah seorang cewek yang masih menatapi punggung Artha hingga tak dapat terlihat lagi oleh indranya.

Memang kelas Artha jauh dari gerbang sekolah, ia harus melewati sebelas ruang kelas X terlebih dahulu. Tujuh kelas IPA dan empat kelas IPS.
Memasuki koridor ruang kelas X IPS 4. “Mas Artha, ih ganteng banget,” seru seorang cewek.

Artha hanya membalasnya dengan senyuman. “Mas follow back Instagram gue dong!” pinta si cewek usai Artha berjalan melewatinya.
Artha membalikkan badan sebentar seraya berkata, “DM aja dek!”. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan menuju ruang kelas dengan papan bertuliskan “XI IPA 1”.
Artha memasuki ruang itu dan mencari tempat duduknya. “Tha, pinjem PR lo dong,” ucap salah satu temen sekelasnya.

Artha : Ksatria Penawar LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang