Assalamualaikum, selamat pagi semua....
Part ini akan menjawa rasa penasaran kalian tentang siapa yang menyalakan lampu:)
Maafkan bila ada typo:v
Happy reading guys:)
P A T E R ?
Klik
Dafin sedikit memundurkan posisi tubuhnya, hatinya merasa tidak tenang setelah tahu siapa pelaku dari yang menyalakan lampu. Dafin bahkan menggigit bibir bawahnya, gelisah dan takut menjadi satu adonan yang memberi efek tidak baik untuk fisiknya. Kedua kaki Dafin bergetar pelan, dengan pelan terus melangkah mundur.
Sementara itu, Ryan pun sama halnya dengan Dafin. Dia terkejut, bahkan sangat terkejut. Bukakah ayahnya sudah tertidur? Tubuh Ryan menegang saat ayahnya mendekat ke arahnya. Tapi hatinya seketika merasa lega saat ayahnya hanya melewatinya. Akan tetapi, hatinya gembali bergemuruh saat tahu ayahnya mendekat ke arah adiknya.
Dafin terus beringsut mundur, tatapan tajam ayahnya begitu menusuk. Membuatnya hanya bisa menundukan kepalanya sambil terus memanjatkan doa agar dirinya baik-baik saja nanti.
"Ryan? " panggil ayahnya dengan suara datar setelah berdiri tepat di depan Dafin.
"Ya, ayah. "
"Pergilah ke kamar, kamu butuh istirahat. "
"Tap-. "
"Tidak ada kata tapi! "
Ryan menghela napas kasar, "Oke. " Ryan memutuskan untuk berlalu dari dapur, menuruti perintah ayahnya untuk beristirahat. Meski tak bisa dipungkiri hatinya merasa sangat khawatir pada kondisi adiknya.
Setelah Ryan memasuki kamarnya, barulah ayahnya beraksi. Dengan sekali sentak, ayahnya mencengkram kuat rahang milik Dafin. Mencengkramnya hingga kuku ayah dua anak itu melukai kulit rahang Dafin.
Dafin hanya bisa meringis, saat kuku jari ayahnya dengan pas langsung menancap di rahangnya. Darah menetes mengalir di leher putihnya, membentuk sungai berwarna merah kental. Kedua netra itu berkaca, siap menumpahkan segala luka dalam bentuk liquid bening di pelupuk matanya. Bibirnya kelu, bahkan untuk menyalurkan rasa sakitnya, Dafin menggigit kuat bibir dalamnya. Berusaha agar erangan atau bahkan hanya sekedar ringisan tidak keluar dari mulutnya.
Masih ingat, bukan? Ayahnya tidak suka dia mengeluarkan suara saat ayahnya beraksi kepadanya. Bahkan untuk hanya sekedar ringisan pun tidak diperbolehkan.
Kedua netra Dafin terpejam, membuat liquid bening itu mengalir membasahi kedua pipinya. Tak bisa dipungkiri, rahangnya terasa sakit sekali.
"S-sak-kit ah-ay-yah." Napas Dafin bersengal. Karena meski cengraman ayahnya di rahagnya, tapi tenggorokannya pun menjadi sasaran empuk untuk ayahnya. Membuatnya tak bisa bernapas dengan leluasa.
"Sakit? Kamu lupa? Jangan pernah mengeluarkan suara! "
Dafin ingat. Tapi rasa sakitnya tak bisa dibendung lagi. Diam-diam Dafin bernapas lega saat perlahan cengraman ayahnya merenggang dan kemudian lepas.
Plak
Tak sampai disitu, Dafin kira setelah cengraman ayahnya terlepas, dirinya bisa kembali ke kemarnya. Tapi bukan itu yang di dapatnya, melainkan sebuah tamparan yang menyentuh telak pipi kirinya, meninggalkan bekas kemerahan di sana.
"Jangan dekati anakku, Ryan!" Mata setajam elang itu begitu mengintimidasi Dafin.
Dafin hanya bisa menunduk dalam diam, dia ingin bicara. Tapi takut menguasai dirinya dan juga rahangnya yang masih terasa perih.
"Jangan pernah berinteraksi dengannya! Saya tidak mau anak saya hilang lagi! "
Dafin mengangkat pandangnya, "Tapi kenapa?" tanya Dafin pelan.
"Kenapa kamu bilang?! " sentak ayahnya.
"Setelah kejadian menyakitkan itu, kamu masih bertanya kenapa?! Kamu pikir sendiri, bagaimana saya akan diam saja jika putra saya berada drkat dengan si pembunuh! "
Dafin menelan salivanya kasar, kejadian itu sudah sangat lama. Ternyata inilah alasan ayahnya membencinya, bukan hanya karena kehilangan bunda. Tapi juga kejadian kelam sewaktu dulu.
"Tapi Kak Ry-" ucapan Dafin terpotong oleh suara ayahnya.
"Jangan pernah memanggilnya seperti itu, Ryan anakku satu-satunya!Dia tidak mempunyai adik."
Sakit. Itulah yang Dafin rasakan. Tak dianggap sebagaimana semestinya, dirinya bagai seonggok sampah yang siap untuk dibuang. Ah tidak, bahkam dirinya sudah dibuang. Tak terasa air matanya sudah membanjiri kedua pipinya, isakan kecil tertahan terdengar samar-samar. Dafin menundukkan kepalanya, hatinya tak sanggup menatap sang ayah yang menatapnya penuh benci.
Dafin mengerang tertahan saat rambutnya ditarik, membuat kepalanya terangkat secara paksa. Dafin menatap sang ayahnya dengan sendu, sementara ayahnya tetap dalam kejatajam yang melekat di netranya.
"Jika kamu masih ingin tinggal di sini! Maka turui saja perintah dari saya, PAHAM?!"
Dafin diam, sukit baginya untuk jauh dari sang kakak yang baru saja ditemuinya. Haruskah dirinya yang menjauh, tidak dia yang dipaksa menjauh.
"PAHAM?! "
Dafin menutup matanya saat sentakan ayahnya begitu menggetarkaj relung hatinya. Tarikan di rambutnya bertambah kuat, membuat akar-akar rambutnya seakan di cabut paksa. Kulit kepalanya sekaan tertarik yang menimbulkan pening di kepalanya. Dengan terpaksa, Dafin mengangguk pelan.
Duk
"Akhss..." Dafin meringis saat keningnya menyentuh sudut dari lemari makanan setelah ayahnya tanpa berperasaan menghempaskan kepalanya ke samping.
Dafin memegang keningnya, merasakan cairan hangat berbau anyir itu mengehias di tangannya yang menyentuh keningnya. Sementara itu, ayahnya telah melenggang pergi dari dapur, meninggalkannya sendiri kembali dengan luka. Dafin memejamkan matanya, mengingiat kembali kilas balik masa lalu. Di mana ayahnya yang selalu bersikap lembut bahkan tak segan memanjakannya karena dirinya anak bungsu. Tapi setelah kejadian itu, semua berubah. Tak ada yang tersisa dari kasih sayang ayahnya yang dulu, bahkan hanya untuk sekedar usapan di kepalanya. Kini bukan lagi usapan atau kalimat penuh kasih sayang. Kini pesakitan secara fisik dan kalimat kebencian dari ayahnya untuknya.
Tiba-tiba dadanya terasa sesak, Dafin memukul dadanya brutal. Meraup oksigen dari sekitarnya dengan rakus, mencoba untuk melangkah menuju ke kamarnya. Dengan pelan, bahkan sangat pelan, Dafin melangkah memasuki kamarnya.
Dengan tergesa-gesa Dafin membongkar isi tas. Resleting tasnya di buka, dan mengeluarkan semua isi tasnya dengan membalik posisi tasnya, membuat semua isinya berhambur di tikar kusamnya. Dafin mencari benda itu, bemda yang sangat dibutuhkannya sekarang.
Deru napasnya semakin melemah dengan sesekali terdengar bunyi 'ngik'. Dafin menemukan benda itu, dengan tergesa dia menyemprotkannya ke mulutnya, tapi hasilnya... nihil. Inhaler itu sudah tidak ada isinya, kedua alis Dafin semakin menyatu seiring dengan rasa sesak di dadanya yang semakin menguasai dirinya.
"Pa-pat-er non o-opus es-t ti-tibi..." kalimat terbata itu keluar dari mulut Dafin yang masih terbuka karena membutuhkan oksigen lebih.
Udara di sekitarnya seakan menjauh, enggan membantu Dafin yang kesulitan meraup oksigen. Dafin meringkuk di tikar kusamnya, meremat dadanya kuat, berharap sesaknya perlahan menghilang. Tapi tidak, sesak itu bertambah menyakitkan dengan dibarengi kesadaranya yang terenggut perlahan, terganti dengan gelap yang dipandangnya terakhir kali.
###
Jangan lupa tinggalkan vote dan koment yak. Semakin kalian banyak memberi semangat, semakin author cepet buat update:)
Thank you:)
Salam kenal dari author 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
P A T E R ? [Terbit]
Teen FictionDia Dafinka Angelo. Pemuda yang memupuk harapan dengan senyum miris. Mencoba bertahan di tengah lautan luka yang menyanyatnya berkali-kali. Berharap ayahnya akan peduli. Sosok ayah yang seharusnya membimbingnya, menyayanginya, dan menjadi panutanny...