Assalamualaikum....
Syukur Alhamdulillah, Pater? bisa tembus 1k. Aku nggak nyangka benget, soalnya pas tadi pagi lihat masih 977:v
Aku juga ucapin makasih buat kalian semua yang selalu suport aku lewat komentar dan vote kalian:)
Aku terhura hahahaah🤣
Happy reading dan sorry for typo
Dengan lampu temaram ditemani lembaran dari buku setebal 5 cm, Dafin sesekali menorehkan tinta penanya di kertas kosong. Alisnya menyatu dengan dahi yang mengkerut, tanda jika dirinya tengah kebingungan.
Entah sudah berapa kali dirinya mencari jawaban nomor 48 dari soal matematika di buku itu. Soalnya memang terlihat mudah, tapi jawabannya susah untuk dicari. Meskipun Dafin sudah menggunakan beberapa cara yang berbeda, tetap saja tidak ada jawaban yang tertera di pilihannya.
Terlebih fokus Dafin kian pecah karrna perutnya yang keronconga. Dari tadi siang dirinya belum memakan sesuap nasi pun,hanya meneguk air yang dirinya stok di dalam kamar dengan wadah botol bekas air kemasan.
Tadi siang sebenarnya dia berencana makan di dapur dengan mie instan yang ayahnya sediakan. Akan tetapi dirinya melihat keberadaan Melani di dapur tengah membantu bibi memasak. Dafin pun memilih untuk masuk kembali ke kamarnya, terlalu takut maju untuk berperang.
Dafin meletakan penanya, menutup bukunya. Lantas menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan yang tertumpu pada lututnya yang ditekuk. Beberapa kali menghela napas lirih, bingung harus apa untuk mengganjal perutnya ini.
Suara pintu di buka membuat Dafin mengangkat kepalanya. Dahinya mengernyit saat siluet seseorang memasuki kamarnya. Cahaya lampu yang temaram membuat tak bisa bisa melihatnya dengan jelas.
Sampai orang tersebut berjongkok di hadapannya, Dafin terkejut bukan main. Tak menyangka kakaknya ini berani datang ke kamarnya.
"Kakak tahu kamu lapar," kata Ryan sambil meletakkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk, disusul segelas air putih.
Dafin mengalihkan pandangannya. Dia masih merasa bersalah, karena kejafian tadi siang di kamar kakaknya. Sebenarnya Dafin tidak berniat mengatakan itu, akan tetapi hatinya seakan memberontak untuk mengungkapnya.
"Maafin kakak, ya?" Ryan menatap adiknya yang masih tak mau menatapnya.
"Kakak tidak bermaksud, kakak hanya tidak mau kehilangan kamu, Dafin." Tambah Ryan sembari mengusap surai Dafin.
"Maksud kakak?" Dafin mengernyitkan dahinya.
"Apa?" Bukannya menjawab, Ryan malah bertanya balik.
"Takut kehilangan Dafin."
Beberapa detik Ryan tak kunjung menjawabnya,"Dafin hanya berteman dengan Farel, bukan untuk pergi selamanya."
Ryan menatap buku usang milik adiknua yang tertutup. Sementara itu, Dafin menunggu penjelasan dari kakaknya.
"Kenapa?" ulang Dafin kembali.
"Kamu akan tahu Dafin, tapi tidak untuk sekarang."
Dafin diam, sepertinya kakaknya tidak mau bicara lebih tentang pertanyaannya. Takut kejadian siang tadi terulang kembali, Dafin memilih untuk diam.
"Kamu makan."
Dafin menggeleng,"Nanti ayah tahu."
"Ayah tidak akan tahu, ayah sudah tidur di kamar."
"Itu alasan kakak bisa samapi di kamar, Dafin?"
Ryan kembali terdiam, menyisahkan ruang kosong yang hanya disi udara.
"Kemana janji kakak saat di makan bunda?"
"Kemana janji kakak yang akan selalu menemani Dafin meskipun ayah membenci Dafin, Kemana Kak?"
Ryan menatap tepat di manik Dafim, bisa dilihatnya kesedihan di kedua mata itu.
"Kamu sudah tahu alasannya, bukan?"
"Menurut Dafin itu bukan alasan. Kakak berubah, kakak berbeda," kata Dafin membalas tatapan sang kakak.
"Harusnya kamu bisa mengerti posisi kakak."
"Aku mengerti, sangat mengerti posisi kakak. Tapi apa kakak mengerti aku?!"
"Lantas apa yang kamu inginkan?! Kamu mau kakak membelamu di depan ayah?! Atau membawamu kabur dari rumah ini lantas hidup berdua menjemput bahagia?! Kangan bodoh Dafin!"
Suara Dafin tercekat, mulutnya tak bisa berkata meski hanya sekedar bisikan. Meski bukan pertama kali, tapi rasanya masih sakit saat kakaknya membentaknya.
"Kamu harus tahu posisi kakak sangat sulit,Dafin. Memilih dari salah satu diantara dua orang yang kakak sayangi, itu tidaklah mudah."
Dafin menunduk, memutus tatapnnya dengan sang kakak.
"Dafin memang bodoh, Kak. Dafin bodoh."
"Dafin terlalu berharap kakak akan memilih Dafin, hingga realita yang menyakitkan ini menuadarkan Dafin. Maaf..."
Liquid itu menetes dari pelupuk matanya. Dafin terisak dengan kepalanya yang menunduk, membuat Ryan lagi-lagi merasa dalam rasa bersalahnya.
Ryan lepas kendali. Dia tidak bermaksud untuk membentak adiknya. Tidak sama sekali. Seharusnya dia bisa menjaga kata-katanya.
"Dafin kakak tidak betmaksud seperti itu. Kakak bisa menjelaskannya--"
"Menjelaskan apa lagi? Sekarang Dafin tau, Dafin bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa lagi di hidup kakak, bukan?"
"Bukan--"
"Kakak tidak perlu menjelaskannya,Dafin tahu diri."
"Dafin kakak--"
"Dafin tahu, Dafim hanya parasit di hidup kakak. Tidak berguna dan tidak perlukan."
"DAFIN!"
Napas Ryan memburu. Sedari tadi dia ingin berucap, menjelaskan semuanya. Tapi kesabarannya terkuras saat kalimatnya tak pernah tuntas. Jangankan sampai titik, bahkan koma saja tidak.
"Keluar..." lirih Dafin dengam tatapan kosong ke bawah.
"Dafin?" Ryan berusaha memeluk adiknya, akan tetapi elakan Dafin yang didapatnya.
"Dafin ingin sendiri," kata Dafin dengan suara pelan. Bahkan suara seperti terbawa angin, tapi masih bisa di dengar Ryan.
Ryan menghela napas. Mungkin keputusannya untuk meminta maaf saat ini bukanlah waktu yang tepat. Lagi-lagi Ryan merutuki dirinya sendiri yang tak bisa mengontrol emosi.
"Kakak keluar, jangan lupa untuk makan." Ryan beranjak dan keluar dari kamar Dafin.
Sementara itu Dafin menatap pintu kamarnya,"Abang..."
***
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman:)
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
P A T E R ? [Terbit]
Teen FictionDia Dafinka Angelo. Pemuda yang memupuk harapan dengan senyum miris. Mencoba bertahan di tengah lautan luka yang menyanyatnya berkali-kali. Berharap ayahnya akan peduli. Sosok ayah yang seharusnya membimbingnya, menyayanginya, dan menjadi panutanny...