Assalamualaikum....
Besok puasa, kan? Sebelum itu aku mau minta maaf sama kalian,barangkali ada marah sama aku karena lama update-nya. Dimaafin yak:)
Happy reading and sorry for typo:)
P A T E R ?
Ryan terpaksa membawa Dafin ke dalam kamar adiknya. Meletakkan tubuh kuyup itu di atas tikar kusam. Menggantikan pakaian basah yang dikenakan Dafin dengan yang kering.
Bahkan Ryan ingin sekali menangis saat melihat kondisi ruangan yang disebut kamar ini. Mungkin gudang di rumahnya saja lebih baik. Tempat pakaiannya berupa kardus, tidak ada lemari barang plastik pun. Rasanya Ryan telah gagal menjadi seorang kakak.
"Dafin?" Lirih Ryan dengan mengusap surai hitam milik adiknya.
Ryan tak bisa berbuat banyak, dia hanya bisa mengompres dahi adiknya dengan handuk kencil yang telah direndam oleh air hangat. Niatnya tadi akan membawa Dafin ke rumah sakit, tapi kejadian beberapa menit lalu...
Ryan tergopoh membawa tubuh basah Dafin, terdengar menyakitkan napas Dafin yang amat memberat. Saat dia telah sampai di garasi, berniat akan memasukkan tubuh adiknya ke jok belakang, satu suara membuat pergerakannya terhenti.
"Mau dibawa kemana anak sialan itu?!"
Ryan menatap ayahnya,"Dafin harus dibawa ke rumah sakit Yah."
"Tidak ada rumah sakit untuk bocah sialan itu!"
"Yah?"
"Bawa dia masuk Ryan! Nanti juga sadar sendiri."
"Tap-"
"Kamu dengar ayah, kan? Jangan jadi pembangkak! Ayah tidak suka itu."
"Tapi Dafin butuh pertolongan ayah!" Ryan menaikkan satu oktaf suaranya.
PLAK
"Jangan membantah! Bawa masuk anak sialan itu!"
Ryan menatap ayahnya sinis, tidak akan dia biarkan Dafin merasa sakit. Akan dicobanya untuk melawan ayahnya.
"Ryan tetap akan membawa Dafin ke rumah sakit!"
Dengan nekat Ryan memasukan tubuh Dafin ke jok belakang, tapi baru saja setengah dari tubuh Dafin masuk ke dalam mobil, tubuh adiknya itu do tarik kasar keluar dar mobil hingga jatuh ke lantai garasi.
"Jangan pernah macam-macam!"
Ryan menatap penuh luka kepada sang ayah. Kunci mobilnya direbut, dia harus bagaimana?
"Cepat bawa bocah sialan itu masuk ke rumah!"
Rasanya Ryan ingin tertawa. Rumah? Bagi adiknya mungkin hunian yang menjadi tempatnya hidup adalah neraka.
Dengan terpaksa Ryan kembali mengangkat tubuh Dafin untuk masuk kembali ke rumah. Ah,lebih tepatnya ke kamar sang adik.
Ryan ingin menangis rasanya, tak tahan melihat wajah pucat sang adik. Bibir itu terlihat sangat pucat dan kering. Kedua pipi itu yang dulunya tembam, kini tirus. Tubuh ini yang selalu meminta untuk direngkuh olehnya, kini kurus seperti kekurangan gizi.
Ryan tak bisa melihat semua ini,dia tidak tahan untuk terus menatap wajah pucat yang tak berkutik itu. Dengan mata yang siapa untuk meneteskan liquid-nya, Ryan memutuskan untuk keluar dari kamar sang adik.
Jika menatap wajah adiknya, rasa bersalah akan selalu menghantuinya. Mengingat perihal janji yang pernah dirinya ucapkan di depan makam sang bunda.
Kejadian kelam yang berhasil merenggut semua. Bahagia, senang,dan ceria adiknya. Semua hilang dan tertutup oleh luka beserta lara.
Kini tinggal Dafin seorang yang berada di kamar, tak ada siapa pun selain dirinya yang masih di bawah alam sadar. Di atas tikar kusam yang menjadi pembatas tubuhnya dengan lantai, napas yang kian memberat tak beraturan hembusannya.
"Abang?"
Dafin menatap wajah rupawan di depannya. Ingin sekali merengkuh tubuh tegap di hadapannya sekarang.
"Dafin?"
"Abang?"
"Dafin harus kuat ya, buktikan sama ayah kalo Dafin kuat. Dafin anak yang tidak lemah, Dafin pasti bisa melewati semuanya, Dafin bisa."
Dafin menggeleng pelan,"Dafin sakit abang, ayah benci Dafin."
"Maka dari itu , Dafin buktikan sama ayah. Kalo Dafin itu pantas untuk bahagia dan layak untuk disayangi."
"Tapi Dafin mau nyerah..."
"Dafin nggak boleh nyerah, Dafin anak yang kuat. Percaya sama abang, Dafin pasti bisa." pemuda itu menepuk kedua bahu Dafin, seakan memberi semangat untuk bangkit kembali.
"Tapi ragu abang..."
"Dafin harus yakin! Dafin boleh nyerah,tapi tidak untuk sekarang. Nanti kalo Dafin udah mau nyerah, bilang sama abang, ya? Abang akan jemput Dafin terus kita ke bunda."
"Sekarang aja ya, Bang?"
"Nggak sekarang. Untuk saat ini Dafin harus bangun dulu, jalani hidup Dafin kembali, ingat semangat!"
Dafin mengangguk mantap, ya dia harua bangkit. Harus bisa mendapatkan bahagianya yang telah lama hilang. Dafin tersenyum dan dibalas pula senyum oleh pemuda itu.
Perlahan namun pasti kelopak mata itu terbuka, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Napasnya berangsur normal seperti sedia kala.
Dafin terduduk di atas tikar kusam, meneliti penampilannya yang ternyata sudah berganti pakaian. Dahinya mengkerut, siapa gerangan yang menggantikan pakaiannya?
"Abang...."
Sudut bibir Dafin tertarik ke atas, netranya menatap sosok yang dirindunya di pojok ruang kamarnya.
Vote dan koment ya sayang:')
Oh iya, kalian dari kota mana aja?
KAMU SEDANG MEMBACA
P A T E R ? [Terbit]
Teen FictionDia Dafinka Angelo. Pemuda yang memupuk harapan dengan senyum miris. Mencoba bertahan di tengah lautan luka yang menyanyatnya berkali-kali. Berharap ayahnya akan peduli. Sosok ayah yang seharusnya membimbingnya, menyayanginya, dan menjadi panutanny...