Happy reading:)Dafin keluar dari kamar kecilnya dengan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya. Pandangannya jatuh kepada seseorang yang tengah meminum air di depan lemari pendingin. Tatapannya menyiratkan kerinduaan yang mendalam. Ingin sekali Dafin memeluk tubuh tegap itu, mengungkapkan keluh kesahnya dan menjadikan bahu itu sebagai sandarannya.
Pelan namun pasti, Dafin melangkah mendekatinya, tepat di belakang seseorang itu Dafin berhenti bak patung. Mati-matian Dafin menahan tangannya yang ingin sekali memeluk tubuh tegap di depannya.
"Ngapain? "
Dafin tersentak, dia kira kakaknya tidak menyadari dirinya datang. Tapi salah, sudah pasti kakaknya melihatnya dari pantulan lemari pendingin itu.
"Ngapain? " tanya Ryan ulang, lantas berbalik menatap seseorang yang memperhatikannya sedari tadi.
Dafin menunduk, tak berani menatap kakaknya meski dirinya begitu rindu. Dafin menggeleng pelan, lantas berniat untuk berangkat sekolah sebelum lengannya di cekal dari belakang.
"Kakak tanya, ngapain? "
Dafin menatap kakaknya. Percayalah, Dafin teramat sangat rindu dengan sosok yang juga tengah menatapnya.
"Semalam kakak tanya ayah, katanya kamu sudah tidur. "
Dafin hanya mendengarkannya, dia merasa kakaknya akan kembali berbicara.
"Lebam di tengkuk kamu, kenapa? "
"Shh..." Ringis Dafin saat kakaknya menyentuh lebam di tengkuknya. Inilah hasil tangan ayahnya semalam. Saat Dafin mendengar kunci diputar, kemudian pintu kamarnya terbuka, disitulah Dafin dapat melihat kilatan kemarahan di mata ayahnya. Bahkan Dafin tidak tau kesalahan apa yang telah dilakukannya. Sampai sekujur punggungnya menjadi korban kemarahan ayahnya, dirinya tidak tau jika lebam itu sampai tengkuk lehernya.
"Karena ayah? "
"Ryan!"
Belum sempat menjawab, Dafin dikejutkan dengan suara bariton milik ayahnya. Seketika jantungnya berpacu, seperti tengah berlari maraton dan perasaan gelisah mulai menguasainya.
"Kamu sudah sarapan, Ryan? " tanya ayahnya.
Bahkan melihat dirinya saja enggan. Ayahnya sudah terlanjur membencinya, menganggapnya hanya sekedar bayangan yang tak pantas untuk dipandang. Dafin terdiam di tempatnya takala ayahnya menuntun kakaknya untuk duduk di meja makan, melemparkan pandangan tak suka kepadanya dan mengisyaratkan agar dirinya segera pergi dengan delikan tajam milik ayahnya.
Dafin menghela napas, kakaknya tak akan lagi sama seperti dulu. Kakaknya mungkin akan perhatian dengannya hanya saat di belakang ayahnya. Tapi jika di depan ayahnya, kakaknya seperti tak ingin berdekatan dengannya, tak membelanya lagi seperti dulu. Dafin melangkah keluar rumah, membiarkan ayah dan kakaknya yang asik bercanda sambil menikmati sarapan pagi.
Tanpa Dafin tau, ada sepasang mata yang memandangnya dengan sendu. Seakan rindu dengan punggung kecil itu.
P A T E R ?Dafin terkejut saat berniat menuju bangkunya, ada seorang gadis yang tersenyum ke arahnya sambil melambaikan satu tangannya. Senyumnya sangat manis, terdapat satu gigi gingsul yang menambah kecantikannya. Dia Almeira. Teman satu kelasnya yang entah bagaimana, tiba-tiba memperkenalkan dirinya kemarin.
Dafin menunduk, sadar akan pandangan tidak suka yang dilemparkan teman kelas lainnya. Dengan canggung, Dafin mulai mendudukan dirinya di bangku pojok. Sebelum itu, dengan peka Mei berdiri dan menyingkir sebentar sebagai akses untuk Dafin duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
P A T E R ? [Terbit]
Roman pour AdolescentsDia Dafinka Angelo. Pemuda yang memupuk harapan dengan senyum miris. Mencoba bertahan di tengah lautan luka yang menyanyatnya berkali-kali. Berharap ayahnya akan peduli. Sosok ayah yang seharusnya membimbingnya, menyayanginya, dan menjadi panutanny...