Dengan sisa tenaganya, Dafin melangkah menyusuri jalanan malam yang hanya di sinari lampu temaram di tepi jalan. Sementara bulan? Bulan seakan enggan untuk menyinari bumi. Sosoknya yang ditutupi awan hitam. Pertanda jika sebentar lagi mungkin akan turun hujan.
Rasa sakit menjalar di tubuhnya. Dafin merasa jika tubuhnya diremukkan hingga terasa kaku saat digerakan. Ia baru saja keluar dari area sekolah sekitar jam enam sore. Itu pun karena satpam sekolah yang menemukannya tergeletak di dalam gudang. Dan kini sudah pukul tujuh malam. Jarak antara sekolah dan rumahnya memang tidak dekat, sekitar tiga kilometer. Jarak itu ditempuhnya dengan berjalan kaki.
Bukan apa. Hanya saja Dafin tidak memiliki uang untuk naik kendaraan. Makan sehari sekali saja Ia sudah sangat bersyukur.
Sekarang gerbang rumahnya sudah terlihat di depan mata. Hanya beberapa langkah lagi saja Ia akan sampai. Benar saja, hanya butuh delapan langkah Ia sampai di depan gerbang rumahnya. Dibukanya gerbang rumah dengan perlahan dn hati-hati. Takut menimbulkan bunyi keras yang akan mengganggu orang rumah atau tetangga sekitar.
Dafin membuka pintu rumah dan mulai memasukinya. Satu yang menyambutnya saat memasuki rumah adalah sepi. Tidak ada suara atau pun seseorang yang terlihat. Ah, Ia lupa jika anggota keluarganya pasti tengah makan malam bersama di meja makan.
Saat melewati meja makan, Dafin melihat ayah, bunda, dan adiknya yang tengah makan malam bersama. Dafin hanya bisa menatap sendu kepada mereka. Ada sedikit rasa iri saat ayahnya berbicara lembut kepada Anjar adik tirinya.
Anjar adalah anak dari Melani yang merupakan bunda tiri Dafin dan istri Sanjaya. Setelah Sanjaya bercerai dengan istrinya waktu itu, Ia memutuskan untuk menyusun hidup baru.
Dafin berlalu dari tempatnya berdiri tadi. Terlalu lama melihat pemandangan itu membuat hatinya terasa tercabik. Tidakkah mereka melihatnya sekali saja? Ayah?
Dafin pengin dengar suara lembut ayah...
Dafin memasuki kamar sempitnya yang terletak dekat dengan dapur. Bahkan kamar yang disediakan ayahnya untuk para pekerja seperti asisten rumah tangga dan satpam serta tukang kebun itu lebih baik dari kamarnya.
Kamarnya hanya selebar 3 meter x 2 meter. Mirip seperti lorong yang buntu tak berujung. Tidak ada kasur atau pun ranjang sebagai tempat tidur. Hanya ada tikar kusam tempatnya untuk merebahkan tubuh. Tidak ada lemari, tidak ada meja belajar dan kursinya. Kardus bekas tempatnya untuk menaruh pakaiannya. Lantai dingin tempatnya untuk menulis dengan posisi tubuh terkurap. Serta lampu dengan cahaya temaram yang menemaninya belajar dan memberi sedikit cahaya untuk kamar kecilnya.
Ada satu jendela ukuran sedang yang terletak tidak tinggi. Bahkan terlihat sangat rendah. Tingginya hanya 50 cm meter dari dasar lantai kamarnya. Tidak ada kamar mandi di dalam kamarnya. Berbeda dengan kamar anggota keluarga lainnya yang sudah ada kamar mandi di dalam kamar. Jika Ia akan ke kamar mandi pun,Ia hanya bisa memakai kamar mandi yang digunakan oleh para pekerja di rumahnya.
Tidak adil?biarlah. Dafin masih sangat bersyukur karena bisa tinggal bersama ayahnya. Walaupun tak sedikit pun sang ayah meliriknya.
Dafin merebahkan tubuh ringkihnya di tikar kusam miliknya. Tubuhnya nyeri dan sakit. Luka lebam di wajahnya juga terasa perih. Baru saja Dafin memejamkan matanya, tiba-tiba pintu kamar di buka dengan kasar.
BRAK
Di situ. Ayahnya Sanjaya berdiri dengan berkacak pinggang. Matanya tak pernah absen memberikan tatapan tajam untuk Dafin.
Dafin terduduk di atas tikar kusamnya, "A-ayah? " suara bergetar bersamaan dengan dirinya yang mulai ketakutan.
"Arghtss... Sa-sakit ayah... " Dafin meringis kala rambutnya kembali ditarik. Bahkan kini tubuh kurus Dafin diseret keluar kamar menuju gudang.
KAMU SEDANG MEMBACA
P A T E R ? [Terbit]
Ficção AdolescenteDia Dafinka Angelo. Pemuda yang memupuk harapan dengan senyum miris. Mencoba bertahan di tengah lautan luka yang menyanyatnya berkali-kali. Berharap ayahnya akan peduli. Sosok ayah yang seharusnya membimbingnya, menyayanginya, dan menjadi panutanny...