DEKAT TERASA JAUH

5.6K 374 2
                                    

Happy reading guys..... :)

~~~~~

Hari ini. Hari yang melelahkan bagi Dafin. Meskipun kenyataannya memang setiap hari Ia lelah. Lelah menjadi samsak dunia yang begitu kejam. Dibenci ayah, bunda, dan mungkin semua orang.

Angin malam yang berhembus menerpa rambut legamnya tak dihiraukannya. Pandangannya kosong dan langkahnya masih terus berjalan tak tentu arah.

Setelah menerima keputusan di tempatnya bekerja, Dafin seperti orang linglung yang kehilangan tujuan. Tempatnya mengais rezeki untuk sesuap nasi sudah tidak ada lagi. Lantas bagaimana nanti keperluan sekolah yang harus dibelinya? Ia memang anak beasiswa, tapi tidak semua keperluan sekolahnya dibayarkan sekolah. Ada beberapa buku yang harus dibelinya dengan uang sendiri.

Jalanan sangat sepi untuk kota besar yang sudah menuju tengah malam. Dan Dafin masih di jalanan. Ia masih bergelut dengan fikirannya. Tentang bagaimana Ia memperoleh uang kembali? Tentang bagaimana Ia menyambung hidupnya kembali. Ah, Ia jadi berandai-andai jika Ayahnya akan membantunya dari kesulitan ini. Mengelus rambutnya dengan sayang. Tapi sayangnya semua bagai ilusi yang semu. Tidak nyata atau tidak akan menjadi fakta. Rasanya tidak mungkin dan tidak akan pernah.

Tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut sakit. Seperti ada beribu jarum menusuk kulit kepalanya. Langkah Dafin mulai sempoyongan dan kehilangan keseimbangan. Dafin jatuh terduduk di tepi jalan sambil memegangi kepalanya yang berdenyut dengan kedua tangan.

"Aghrtssts...." ringisan itu lolos begitu saja dari mulut Dafin. Terasa sangat menyakitkan sampai tak dirasanya aliran bening terbentuk di kedua pipinya.

Sakit yang membuatnya seakan ditarik ke dunia nyata lagi. Menghilangkn semua tanya 'bagaimana dan bagaimana?' Dafin tersandar dari semua ilusi yang dibuatnya sendiri.

Hingga sosok yang disayanginya terlintas dalam benaknya. Ayah? Dafin sampai lupa jika Ia belum pulang ke rumah. Di tepi jalanan sepi,tidak ada kendaraan yang lewat di sini. Hanya ada suara hewan malam yang memenuhi. Dafin menepuk dahinya. Kenapa bisa lupa,dan sekarang sudah jam berapa?

Dengan tergesa-gesa Dafin bangkit dan berlari secepat mungkin. Ia tidak boleh pulang larut,atau ayahnya akan marah dan menghukumnya kembali.

Rasa pening di kepalanya Ia singkirkan. Sekarang yang terpenting adalah pulang ke rumah agar ayah tidak marah.

Bahkan nafasnya yang sudah terengah-engah dihiraukannya. Otaknya hanya memutar ke kejadian yang lalu saat ayahnya menghukumnya. Tidak. Dafin tidak mau merasakn ikat pinggang itu. Atau rotan kayu sepanjang satu meter itu. Dafin tidak mau lagi.

Dafin tidak tau sekarang pukul berapa. Ia tidak punya jam tangan. Tapi yang pasti,sekarang malam sudah terlihat larut. Lagit juga sudah penuh bertaburan bintang yang bergemerlap. Dengan bulan yang menjadi pusat keindahannya.

Laju lari Dafin terhenti di depan pintu rumahnya. Beruntung pagar rumahnya belum terkunci. Perlahan tangan Dafin membuka pintu rumah. Satu yang menyambutnya adalah gelap. Mungkin penghuni rumah sudah tertidur. Tapi kenapa pintu rumah belum dikunci?

Tak mau ketahuan siapa pun termasuk ayahnya, Dafin melangkah menuju kamarnya yang dekat dengan dapur. Tapi saat berada di dapur, tiba-tiba lampu menyala dengan terang.

"Baru pulang?! "

Suara itu membuat bulu kuduk Dafin meremang dan membuat tubuhnya tegang. Itu suara ayahnya. Tidak. Dafin tidak mau terjadi lagi.

"Tidak bisa bicara?!" Dafin sadar, suara ayahnya berada di belakangnya. Mungkin sekarang ayahnya tengah menatap tajam ke arahnya.

Tarikan pada rambutnya membuat Dafin perlahan menghela nafas pelan. Pening di kepalanya belum reda tadi, tapi sekarang tarikan tangan ayah pada rambutnya menambah ribuan jarum menjadi jutaan.

"JAWAB BODOH!"

BRAK

Tubuh kurus Dafin terhempas di lantai dingin dapur. Nafasnya terputus-putus. Lagi dan lagi dadanya terasa sesak karena asma yang dideritanya kambuh kembali.

Merasa udara yang masuk ke parunya sangat sedikit dan membuatnya sulit bernafas,Dafin menggeledah tas sekolahnya. Berusaha mencari benda yang tadi dibelinya di apotek saat pulang bekerja dengan gaji terakhirnya.

Setelah ketemu, buru-buru Dafin menyemprotkan pada mulutnya. Tapi baru satu semprotan, inheler itu sudah terlempar karena tertendang dengan sengaja.

Masih memegangi dadanya yang terasa sesak. Dafin menatap sang ayah dengan sendu. Saat tangan besar ayahnya mengambil alat bantu pernafasannya dan membuangnya ke sembarang arah hingga berakhir di ruang tamu. Inheler yang dibelinya dengan susah payah,dengan gaji terakhirnya,tidak boleh terbuang sia-sia.

Dafin mengesot di lantai dingin rumah. Kakinya terasa lemas untuk diajak sekedar berdiri. Ia tidak mau inheler itu sia-sia dibelinya. Bahkan Ia belum puas menggunakannya. Sakit semakin merajalela di dada dan kepalanya. Memaksakan tubuh lelah ini untuk terus menggapai alat bantu pernafasannya.

Saat tinggal satu jengkal untuk menggapai alat itu, sebuah kaki dengan kejam menendang alat yang akan digapai tangannya.

Dafin mendongak, menatap wajah tegas sang ayah. Dada Dafin sudah naik turun sejak Ia mengesot di lantai rumah. Tapi itu sia-sia saat inheler itu semakin jauh dari jangkauannya.

"Sess-sesak a-ayah... " Dafin terus meremat dadanya yang terasa sangat sakit.

"Saya tidak peduli! Lagi pula dari mana kamu dapat uang untuk membeli alat itu?! MENCURI?!atau MERAMPOK?! " Sanjaya menggertakkan giginya hingga terdengar suara gemertuk. Wajahnya merah padam menahan amarah yang mungkin sebentar lagi akan membuncah.

Dafin menggeleng pelan. Menyangkal semua dugaan ayahnya yang menuduhnya mencuri atau pun merampok. Uang yang Ia dapat untuk membeli inheler adalah uangnya sendiri. Bekerja paruh waktu di sebuah restoran sebagai tukang cuci piring.

"Tidak tau diri sekali kamu! Jam berapa sekarang?! Keluyuran tidak jelas! "genggaman tangan Sanjaya semakin kuat, membuat kukunya memutih.

"Jika bukan karena amanah ibu saya yang meminta untuk menampungmu di sini,saya jamin kamu sudah menjadi mayat di luar sana! " Sanjaya mendekat ke arah Dafin.

Wajah Dafin terangkat saat tangan besar ayahnya menarik dagunya dengan kasar. Mata mereka bertemu,membuat rindu yang terpendam di hati kecil Dafin sedikit berkurang kala ayahnya menatapnya. Meskipun tidak dengan tatapan lembut,melainkan tatapan tajam penuh kebencian.

PLAK

Dafin memejamkan matanya, panas menjalar di pipi sebelah kanannya. Tamparan yang dianggapnya sebagai wujud kasih sayang sang ayah. Ia tak mempermasalahkan seberapa banyak ayahnya menampar, memukul, dan mengeluarkan kalimat menyakitkan. Tinggal satu atap bersama ayahnya sudah cukup baginya. Menatapnya dari kejauhan walaupun jarak mereka berdekatan. Cukup bagi Dafin menatap wajah tegas milik ayahnya.

"A-ayah,a-aku.......




~~~~~

Alhamdulillah update lagi:)
Gimana sama part ini? Awalnya aku gak pd buat publish part ini, karena ya... Karena ya tidak meyakinkan aja:v
Untuk readers yang bijak, baik hati, dan tidak sombong. Silahkan di klik bintangnya heheh...

Sekian dulu, Asslamualaikum....


P A T E R ? [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang