BAB 2

125K 12.1K 1.8K
                                    

"Bahkan senja memilih tenggelam bersama mendung."

***

Mengapa Tuhan mengizinkan semesta mempertemukan kita jika pada akhirnya kamu pergi lebih dalulu?

Mengapa waktu itu fajar justru bersinar ketika sudah tau jika guntur dan angin akan berdebat?

Mengapa gravitasi memaksa kenari untuk menapak pada bumi? Jika kenari maunya terbang di angkasa bebas.

Mengapa harus getir ketika manis belum jelas ia rasakan?

Yang sudah dipersilakan menetap kini seenak jidat pergi membawa semua warna. Menggores luka yang bahkan semesta tak cukup mampu menyaksikan.

Benar kata hatinya dulu, percaya kepada orang lain adalah satu langkah membodohi otak. Kini benar, ia sudah terjebak.

Satu persatu semua akan pergi hanya tinggal soal waktu saja. Yang dikira pelindung kini sudah pergi. Yang dikira tempat membagi cerita kini sudah berlalu. Yang dikira mampu mempertahankan seutas garis senyum kini hilang.

Sendiri.

Di titik ini yang paling tau adalah diri kita sendiri bukan orang lain bahkan orang sedarah.

Sejak pulang dari taman Milla hanya mampu diam, tatapannya kosong, bibirnya tersenyum namun mata itu terus berembun. Di sisi lain Aldi menahan emosi ketika semua cerita yang memang tidak pernah ia bayangkan terjadi. Tangan Aldi mengepal kuat, mata lelaki itu memanas, dadanya sesak.

"Bajingan! Abang bakal temui Athur!" umpat Aldi beranjak dari sofa, tangannya mengepal kuat.

"Jangan bang."

"Milla bisa selesaiin ini. Milla baik-baik aja kok," kata Milla menatap kosong.

"Dia gak salah Milla aja yang bodoh percaya sama setan," kekehnya tipis.

"Dia gak bisa jaga janjinya ke abang. Abang gak bisa diem aja, Mil!"

"Abang temenin Milla aja, ya?" suara itu bergetar.

Milla memaksa tersenyum dengan wajah yang terlihat pucat.

"Jangan pergi ya bang?" tuturnya tersenyum getir.

Lebur sudah emosi Aldi. Cowok itu melihat embun di mata Milla sudah berubah menjadi bulir air. Ia mendekat berjongkok di depan adiknya. Tangan Aldi mengulur menyeka pipi Milla. Mata mereka beradu, detik pertama Milla masih tersenyum seolah semua baik-baik saja, seolah hatinya tidak terluka, seolah dunianya tidak sedang runtuh.

Aldi kembali mengusap air mata yang lolos begitu saja.

"Dia bodohin Milla bang."

Hancur.

Tangisnya pecah, isaknya mengguncang bahu Milla, napasnya tak beraturan. Milla memeluk Aldi begitu erat melampiaskan semua sakit yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Kejadian sore tadi mengulang sendiri memenuhi pikiran. Ia ingat benar bagaimana sahabatnya mengkhianatinya. Ia ingat benar bagaimana Athur membuktikan jika cinta hanya halusinasi, jika perasaan hanya lelucon, jika rasa sayang hanya sebatas omong kosong.

KATA SANDI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang