"Sadar dan tau diri itu lebih baik kok daripada terus terjebak halu."
***
Hening.
Perlahan suara petikan siter kembali mengalun, sangat halus. Sekitar satu menit suara itu membius seisi aula. Mata Milla melirik teman lainnya. Mengapa mereka tetap diam dan tidak segera menyambung.
Panik.
Milla hampir kehabisan nada. Ia melirik Iga yang memegang gender. Dia hanya mengangguk entah seolah memberi tanda jika ini akan baik-baik saja.
Seketika tepuk tangan bergemuruh ketika lima cowok dengan pakaian penari Remo berjajar di depan panggung.
"Mereka?"
"Saya kecewa dengan kinerja kalian! Terutama kamu Athur!" tegur Pak Bagus membuyarkan imajinasi Milla. Imajinasi yang sempat ia harapkan untuk jadi kenyataan. Imajinasi yang akan membuat semua bangga.
Dan pastinya baik-baik saja.
Sayang, itu hanya haluan Milla belaka.
"Kamu tidak bisa menyelesaikan tugas terakhir kamu sebagai ketua OSIS."
"Bahkan sekolah kita sebagai penggagas kesenian budaya di sekolah malah kalah," terus Pak Bagus terlihat kecewa sekaligus marah.
Ruang kepala sekolah sekarang terasa begitu pengap. Tidak dipungkiri jika lomba karawitan SMA Tunas Bangsa kemarin terbilang keluar dari ekspetasi. Kesiapan mental menghancurkan latihan mereka berbulan-bulan. Bahkan SMA Tunas Bangsa tidak masuk lima besar.
"Takdir Pak."
Sorot mata Pak Bagus langsung terangkat menatap mantan ketua OSIS.
"Ada takdir yang bisa kita ubah Athur dengan usaha."
"Udah usaha tapi keputusan akhir manusia gak bisa ngatur," tetap Athur teguh dalam pendirian.
Pak Bagus menghela napas panjang. Menatap Athur dan Milla secara bergantian yang duduk di depannya. Sedari tadi memang Milla memilih diam.
"Milla."
"Iya, Pak?"
"Tetap hidupkan karawitan kita. Bapak percaya sekolah kita akan menjadi juara kelak," pak Bagus menepuk pundak Milla, persis sikap bapak kepada anak perempuannya. Milla hanya mengangguk.
Kegagalan ini bukan awal keruntuhan tekad untuk tetap melestarikan kesenian terutama Jawa.
Pak Bagus menunjuk pada pintu memberi tanda jika kedua muridnya boleh keluar dari ruangan Kepala Sekolah.
"Athur mohon berseragam dengan benar. Masukan seragam kamu!"
Suara pak Bagus sempat menghentikan langkah Athur. Cowok itu melirik dan memasukan seragam yang memang tidak dimasukan.
"Udah kan pak. Saya boleh keluar?"
"Silakan."
Milla memilih berjalan lebih dahulu. Ia benar-benar tidak berniat melihat Athur sejak kemarin dan entah berakhir sampai kapan.
Belum sempat menutup pintu dengan benar tangan Athur mencengkeram pergelangan tangan Milla. Menarik paksa mengarah ke gudang belakang.
"Apaan sih lo!" tepisnya yang tidak membuahkan hasil.
Semakin Milla memberontak semakin Athur menariknya.
"Lepasin!" bentak Milla menampis tangan Athur.
Mata Athur kembali menatap. Dua mata itu beradu beberapa detik sampai entah dari mana banyangan kemarin malam seolah melambai untuk mengingatkan. Bagaimana Athur menghianatinya dengan cara murahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA SANDI
Teen FictionTau bagaimana rasanya mencintai seseorang yang sedang mencintai orang lain? Tau bagaimana rasanya memprioritaskan seseorang yang sedang menomor satukan orang lain? Tau bagaimana rasanya memimpikan seseorang yang sedang merangkai kisah bahagia dengan...