BAB 3

103K 10.7K 1.1K
                                    

"Dipertemukan untuk dipaksa dipisahkan? Di sini yang jahat siapa? Masih aku?"

***


Mata Athur rasanya begitu berat. Kelopak mata yang baru saja terbuka masih menyesuaikan dengan cahaya. Ia menegakkan punggung.

Pening.

Ia mengacak rambutnya gusar.

"Thur kita udah mau close," ucap Niko bartender klub.

Athur hanya menangguk pada Niko yang baru saja membangunkannya. Athur menyodorkan uang yang ia sendiri tidak tau itu berapa.

"Kebanyakan bro."

"Ambil aja gue masih banyak."

Cowok itu berjalan sempoyongan keluar klub. Ia mengenakan jaket dan menarik resleting hingga menutupi leher. Athur mengecek layar ponsel yang kini menunjukkan jam 03.25

"Sialan!" umpat Athur kesal karena pening yang malah semakin membuat pandangannya kabur.

Cowok itu memukul kening pelan mencoba menstabilkan diri.

Ia menstater motor dan membelah heningnya kabut dini hari. Malam ini entah mengapa ia merasa begitu bebas, tanpa beban.

Laju kecepatan semakin kencang ketika ia ingat jelas ada panggilan tak terjawab dari Daniel, terlebih Fajar.

Athur pikir ada saatnya teman hanya perlu melihat tidak ikut campur.

Belokan perumahan Athur sudah terlihat. Ia ingin segera tidur, setidaknnya agar dia bisa masuk sekolah untuk sekedar absen. Tanggungjawab atas jabatan ketua OSIS sudah lengser juga. Tidak salah jika kini sekolah hanya untuk sekedar formalitas.

Brakk!!!

Srakkk!!!!

Tepat setelah Athur belok di pertigaan motornya ditabrak dari sisi berlawanan. Motor Athur yang tidak sempat mengerem terjerembab mencium aspal.

"Bangun!" tangan seseorang menarik paksa kerah jaket Athur.

"BANGUN NJING!" umpat seseorang jelas penuh amarah.

Cowok berjaket hitam menatap tajam.

Iya, dia Darpati.

Cowok itu menarik paksa Athur yang masih setengah sadar dan membogem tepat di pelipis. Darpati tidak sedikitpun memberi celah Athur untuk membalas.

Membabi buta?

Jelas.

"Gue salah percaya sama lo bangsat!"

Athur hanya tersenyum nanar. Ia mengusap darah di sudut bibirnya. Senyumnya semakin menyeringai. Tidak ada rasa malu bahkan bersalah sedikitpun.

"Udah hajar guenya? Masih mau nambah lagi?"

"Sini!" tantang Athur menyeringai.

Seketika tangan Darpati kembali melayangkan pukulan, bahkan lebih bruntal. Sesekali memang Athur berusaha membalas namun keadaan yang setengah sadar tidak mampu diandalkan untuk melawan pukulan Darpati.

Wajah Athur penuh darah.

"Sampah!"

"Sana balik Milla pasti depresi atau jangan-jangan mau bunuh diri!"

Seketika darah naik begitu saja. Pikiran Darpati melayang mengingat bagaimana sahabatnya kalut malam itu.

"Lo ada otak gak?!"

Athur menggeleng.

"Gak! Lepasin bangsat!" Athur mendorong cengkeraman Darpati.

Bugh!!!

Satu bogeman mentah mendarat mulus di sudut bibir Darpati.

"Pahlawan kesiangan lo harus cepet sembuhin luka cewek lo takutnya nanti keduluan mati."

"Seharusnya lo bangsat yang sembuhin! Lo yang udah lukain!"

"Oh sori! Gue gak akan mau karena gue udah ada Febby," jeda Athur mengurai senyum. "Boneka rusak itu dibuang di tempat sampah."

"Brengsek!"

Bugh!!!

Tidak akan dilepaskan yang sudah melukai. Tidak akan dimaafkan yang sudah mengingkari janji. Akan dihabisi yang sudah menggores luka.

Tangan tidak bisa ditahan untuk tidak menghabisi. Darpati tidak peduli meski Athur sudah tidak berdaya di pinggir jalan. Ia sudah melakukan kesalahan besar pernah percaya pada orang seperti Athur.

Penghianat.

"Jangan lo ganggu Milla!"

Dengan sisa tenaga Athur mengangguk dan masih menampilkan senyum.

"Pasti. Lo tenang aja," seringai Athur seraya mengusap darah segar yang keluar dari hidungnya.

"Gue juga males sama cewek tolol sok berani itu!"

***

"Dari mana?"

Darpati yang baru saja memasuki rumah langsung dihadang pertanyaan oleh Atmaja. Ia melepas jaket dan duduk di sofa bersama ayahnya.

"Biasa anak muda."

Atmaja dengan kacamata yang tersangga di tulang hidung mulai menyadari luka lebam di wajah Darpati.

"Kenapa lagi?"

"Berantem," jawab Darpati enteng.

"Mau tidur nanti pagi sekolah."

Atmaja hanya menghela napas panjang. Kapan Darpati tidak berandal, kapan anaknya mau menjadi manusia sewajarna, tidak onar seperti ini.

"Besok pulang sekolah Ayah tunggu. Gak usah kelayapan," ucap Atmaja menghentikan langkah Darpati.

"Paham kan Ayah mau bahas apa?"

Ia diam. Tangan Darpati mengepal kuat. Ia sudah terlanjur berjanji saat semua hal ia kira sudah baik-baik saja bukan malah kacau seperti saat ini.

"Tidur sana."

Napas panjang cowok itu terembus. Ia duduk di sofa kamar dengan satu kaki dinaikkan. Tangan mengacak rambut frustasi. Mata terus menatap lantai, panas. Emosi belum turun sedikitpun. Mata Darpati melirik map cokelat berisi dokumen di atas nakas. Jelas, ia tau apa isi dokumen itu.

Beban Darpati seakan bertambah berkali lipat.

Ia menyandarkan kepala di punggung sofa, matanya kini menatap langit-langit.

"Maaf Mil."











Haloo semua :)

Dian come back bersama Athur dan Darpati dulu nih.

Gimana? Penasaran?

Kok Darpati bilang 'maaf' ya? Dan untuk Milla?

Ada yang mau tebak?

SPAM KOMENTAR GAIS :)

Tetep jaga kesehatan ya teman-teman. Di rumah aja dan semoga wabah Covid 19 ini segera berakhir dan kita bisa kembali beraktivitas seperti biasa.

Tertanda,

Dian Yustyaningsih.

KATA SANDI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang