BAB 7

71.2K 7.6K 1.3K
                                    

"Jika pergi sekalian bawa kenangan, rasa dan lukanya ya! Jangan hanya orangnya saja."

***

Lagi-lagi senja dan hujan datang di waktu yang sama. Sama seperti bahagia dan luka yang datang tanpa diundang, memaksa membuka luka yang jelas masih basah.

Apa sebenarnya kamu?

Apa memang tugasmu membuat hati seseorang patah? Iya patah! Setelah itu pergi sesukamu.

Milla menahan sesak, bahunya yang berguncang ia tahan, tangannya terus mengepal, sesekali menyeka air mata yang masih saja mengalir.

Kepala Milla menengadah, menatap langit. Cukup lama sampai kepalan tangan itu mengenggam semakin kuat. Perlahan segaris senyum tergambar.

"Nanti ajak gue makan di warkop, Dar," ucap Milla lirih.

"Gue..gue bakal kangen mulu sama lo nanti."

"Lo di sana jangan nakal ya biar cepet balik ke sini."

Tidak ingin melepas namun dipaksa dipisahkan. Tidak ingin menangis namun sudah tidak mempunyai alasan tersenyum. Tidak menghadap namun di depan mata.

Srakkk!!!

"Ikut gue!"

Milla menampis tangan yang baru saja menariknya dari kursi halte secara tiba-tiba.

"Lepasin!"

Mata Athur berapi-api. Bukan sadar diri Athur malah semakin menarik Milla keluar dari atap halte menuju mobilnya. Tentu saja perilaku Athur menarik perhatian orang-orang yang tengah menunggu di halte.

"Athur lepasin! "

"Masuk!" tangan Athur mendorong Milla ke pintu mobil.

Mata Milla menatap penuh amarah, dadanya bergemuruh.

"Lepasin!" tekannya pada setiap ejaan.

"Gak!"

"Mas jangan kasar dong sama cewek!" teriak salah satu cowok dengan seragam kantoran.

"Bukan urusan lo!"

"MASUK!"

Brakk!!!

Dalam sepersekian detik tubuh Milla didorong paksa masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Bahu Milla berguncang hebat, ia sudah tak bisa menahan tangis.

"Berisik! Kuping gue panas denger lo nangis tolol!"

"Gue ada salah ya sama lo?" Milla mencoba menyuarakan yang ia menjadikan sesak.

"Gue minta maaf yaa.."

"Please! Lepasin gue, biarin gue hidup normal," suara Milla gemetar.

Gadis itu menelangkupkan tangan di depan Athur, memohon.

"Tolong jangan siksa gue lagi."

"Gue janji, gue janji gak akan muncul lagi di hadapan lo," terus Milla menatap Athur.

"Gue gak bakal ganggu Febby."

"Gue janji Athur."

Namun Athur masih membisu, ia seolah tidak mendengar apapun yang coba Milla ungkapkan.

Milla menunduk dalam, matanya terpejam dengan bibir merapat menahan tangis.

"Mama Milla takut," lirih Milla dengan bibir gemetar.

"Milla takut Maa.."

Milla tidak menyadari jika gumamnya tadi berhasil Athur dengar. Milla tak pernah selemah ini selama Athur mengenalnya. Cowok itu semakin diam. Perlahan laju mobil memelan. Mata cowok itu langsung berpaling.

KATA SANDI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang