Kuparkirkan mobilku tepat di samping gedung yang tak begitu besar, kuperhatikan gedung tersebut mungkin hanya sekitar empat lantai. Ini bukan apartemen pikirku, lebih tepatnya penginapan atau bisa juga disebut sebagai perumahan, tapi kenapa ia mengatakan apartemen ?, apakah ia ingin terdengar elit saat pembicaraan di telpon tadi ?, entahlah aku juga tak begitu peduli.
Hujan masih saja deras mengguyur, kaca mobilku terdengar terketuk tajam oleh rintitan air dibarengi dengan kilatan guntur. Malam ini dingin menusuk tubuhku dan juga tentunya hatiku. Aku butuh seseorang untuk menghangatkanku, dan kuharap ialah salah satu penghuni gedung ini.
Aku berdiri mematung tepat di depan pintu apartemnnya dengan rambut dan pakaian yang terlihat setengah basah akibat guyuran hujan menuju gedung ini. Penampilanku layaknya gembel yang akan mengemis dituan rumah, namun bedanya aku tak meminta uang dari si tuan, tapi kasih sayang dan kehangatan darinya, aneh memang.
Sudah sekitar satu menit aku berdiri di depan pintu tersebut, aku tak memberanikan diri untuk memencet bell yang ada tepat di depan mataku. Sedikit terlintas ingin saja kupergi entah kemana. Namun semua pemikiran dan rasa takutku sirna, ketika panggilan handphoneku berbunyi. Junior menelponku, aku tersenyum dan mengangkatnya..
"Aku sudah didepan pintu."
****
Pintu ruangan tersebut terbuka, menampakkan sosok pria yang aku butuhkan dibaliknya. Ia terpaku menatapku, seakan mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Kami bertatapan seperkian detik. Ia melihatku, melihat rambut dan bahuku yang terguyur hujan. Tanpa kata yang terucap, lantas Dimas terburuburu meninggalkanku tanpa mengizikan diriku untuk masuk terlebih dahulu. Ada apa dengannya ?, pikirku demikian.
Namun sesaat setelah itu, ia kembali dengan handuk yang di genggamnya. Di raihnya tanganku masuk keruangan tersebut, didekapnya badanku ketubuh besarnya dan dilingkarkan handuk tersebut dibahuku.
Ia mengerinkan badanku. Sesekali ia menggosok handuk tersebut dirambutku yang sudah terlihat tak beraturan. Aku terperingai dibuatnya, rasa simpatinya terhadapku benar benar membuatku terlindungi. Tak kusadar kupeluk tubuhnya saat ia masih tetap sibuk dengan rambutku yang basah.
"Sudah kering." Ucapan dari Dimas seketika membuatku tersadar, kulepas pelukanku dari tubuhnya dan berkata..
"Terima kasih."
"Pakaianmu basah, tubuhmu juga pasti kedinginan, bagaimana jika aku hangatkan air dan kamu bisa mandi sekalian."
"Ah !, tidak usah repot repot." Aku berusaha menolak tawaran tersebut, meski diriku membutuhkan.
"Tidak, itu tidak merepotkanku, lagi pula air hujan itu bisa membuat tubuh kita sakit, dan aku tidak mau hal itu terjadi padamu." Ia memaksa dengan senyumannya. Akupun mengangguk pelan dan tersenyum.
"Terserah padamu junior." ☺
****
Terdengar suara aliran air dibalik kamar mandi, aku tahu ia sedang sibuk untuk mempersiapkan air hangat. Aku merasa berat hati merepotkannya, namun ia sendiri yang memaksa dan aku tak bisa menolaknya.
Kunyamankan diriku duduk disofa depan tv dengan handuk putih yang sudah tersedia disampingku. Kuperhatikan ruangan tersebut yang tak lebih luas dari rumahku. Dekorasi minimalis dengan tembok berwarna pastel, dihiasi dengan beberapa bingkai foto.
KAMU SEDANG MEMBACA
Burung Simpananku
RomanceJika kehidupan adalah sebuah perjalanan, maka dimulailah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Saya Layla, Layla Amanda Permatasari. Dan inilah kisah hidupku yang kini telah dijinakkan oleh burung simpannanku.