1

7.7K 805 91
                                    

Lampu lalu lintas kembali memerah, membuat Dimitri harus kembali menghentikan laju mobilnya. Decakan kekesalan terlontar pelan dari katupnya, disusul dengan embusan napas lelah beberapa detik setelahnya.

Yah, mau bagaimana lagi? Sebenarnya dia sudah sangat nyaris lolos dari jebakan lampu lalu-lintas ini. Tapi merah tetap merah, dan dia harus berhenti. Kalau memaksa pergi, itu cari masalah namanya.

Dimitri melirik layar yang menampilkan durasi lampu merah.

90 banding 20? Tch. Ya pantes aja.

Ketimpangan durasi yang nyaris lima kali lebih lama itu kontan membuat Dimitri merotasikan bola mata. Tidak heran kenapa dia sudah terjebak lebih dari setengah jam di jalur ini. Rupanya masalahnya ada di rasio durasi.

Mengalihkan pandangan ke jam mobil, Dimitri lagi-lagi mengembuskan napas lelah. Kurang dari 10 menit lagi pukul 5, yang berarti dia hanya punya waktu kurang dari 10 menit untuk sampai di rumah sakit sebelum Bunda kembali menerornya. Kalau begini ceritanya, dia harus menaikkan kecepatan mobilnya agar bisa sampai tempat pada waktunya.

Begitu lampu lalu lintas berubah warna, Dimitri segera menginjak gas dan melaju secepat yang ia bisa. Niatannya untuk bersantai di sore hari pupus sudah. Tapi tidak masalah. Pilihan itu masih lebih baik ketimbang mendengarkan Bunda berceramah tentang keterlambatannya.

Pukul 5 tepat, Dimitri akhirnya menghentikan laju kendaraannya. Kembali ia mengembuskan napas lelah, kali ini lebih berat dari yang ia lakukan selama di perjalanan tadi karena setelah satu jam lebih berkendara, ia akhirnya punya waktu untuk benar-benar merelaksasikan otot-otot kakinya.

Dimitri memberikan tinjuan-tinjuan ringan di kedua pahanya sambil membaui diri dan mobilnya, memastikan tidak ada sedikit pun bau rokok yang menempel di sana. Seingatnya, dia sama sekali belum menyentuh barang itu satu harian ini. Jadi seharusnya, tidak ada jejak sama sekali. Tapi tidak ada salahnya memastikan lagi. Pasalnya indra penciuman Bunda sudah dalam taraf yang lebih tajam dari anjing polisi saking sensitifnya dengan rokok.

"Aman," ucap Dimitri yakin. Dia pun mematikan mesin mobil lalu mengambil barang-barangnya—tidak terkecuali goody bag berisi jajanan pesanan adiknya.

Hp Dimitri bergetar tepat sebelum ia membuka pintu mobilnya. Ada panggilan masuk dari Bunda.

Tentu saja. Siapa lagi memangnya?

Tapi Dimitri memilih menunda mengangkat panggilan itu sampai saat ia memastikan bahwa mobilnya sudah benar-benar terkunci.

"Halo, iya, Bun?"

"Kamu di mana sih, Dim? Kok sampai sekarang belum nyampe-nyampe juga? Udah dari beberapa jam yang lalu loh kamu bilang sama Bunda kalau udah di jalan."

Dimitri terkekeh pelan. "Hmmm, mulaaai. Mulai hiperbolanya. Beberapa jam yang lalu gimana deh, Bun? Orang nggak sampai dua jam juga. Tadi Dimi kejebak macet, Bun. Kan penghuni jalan bukan cuma Dimi doang."

"Eish, iya iya terserah. Jadi sekarang kamu di mana?"

"Ini udah nyampe rumah sakit kok, Bun. Lagi jalan dari parkiran."

Dimitri baru berniat melontarkan candaan pada bundanya ketika seorang perempuan dengan setelan piyama melintas di depannya. Dimitri yang merasa kaget kontan berhenti melangkah, juga berhenti berbicara. Kedua matanya mengerjap, sambil otaknya pelan-pelan mengumpulkan kesadaran yang sempat teralihkan.

Tadi itu ... manusia?

"Halo? Dim? Dimi? Dimitria?"

"Eh? I-iya, Bun? Iya, kenapa?" Dimitri menjawab cepat ketika sadar kalau panggilannya masih terhubung.

Candle LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang