Setelah banyak malam yang terlewat dengan cerah tak berawan, hari ini air langit turun membasahi Bumi bagian rumah sakit tempat Echan dirawat. Kata para pecinta kopi senja, hujan itu 1% air dan 99% kenangan. Kata warga ibu kota, hujan itu pertanda malapetaka banjir akan segera melanda. Sedangkan kata Echan, hujan adalah waktu paling tepat untuk menikmati salah satu surga dunia, yaitu semangkuk mi instan berkuah dengan asap yang masih mengepul di atasnya ditambah satu—atau lebih—telur ceplok yang tidak dimasak sendiri. Maka dari itu, malam ini Dimitri bertransformasi dari seorang mahasiswa tingkat tiga menjadi seorang koki dadakan yang sedang menyiapkan makan malam adiknya—sebungkus Indomie Soto dengan dua butir telur ceplok dan cabe rawit beserta kopi kekinian alias Dalgona Coffee.
Khusus untuk malam ini, Echan akan amnesia sementara mengenai apa itu makanan rumah sakit.
"Nih, makan," ucap Dimitri setelah selesai mengatur meja beserta hidangannya di atas bed Echan.
Echan tidak langsung merespons. Dia justru mengamati menu makan malamnya dan kakaknya bergantian, lebih banyak bingung ketimbang antusiasnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Wah, hari ini kesambet setan apa lagi lo, Bang?"
"Ha?"
"Marvelous, marvelous!" Echan menggeleng pelan sambil bertepuk tangan seraya menirukan slogan khas salah satu tokoh kartun asal negara tetangga, Jarjit Singh. "Amazing! Gue nggak nyangka lo masih sehat wal afiat begini setelah menghabiskan ribuan detik buat ngaduk nih kopi sampe berbusa cuma pake sumpit doang. Tuh kopi kan, minumnya 5 menit ngaduknya sampe mau meninggal."
Dimitri terkekeh pelan lalu mengibaskan tangan. "Bacot banget lo Jin Tomang. Makan aja udah. Keburu ngembang tuh mi lo."
Echan hanya mengangkat bahu lalu mulai menyantap makanannya, sementara Dimitri mengambil duduk di sofa dengan kepala yang tertoleh ke jendela, mengamati hujan yang turun terlampau deras di luar sana. Pikirannya kemudian membawanya kembali ke sore kemarin di suatu kamar di lantai lima.
"Mereka nggak bisa buat gue sembuh, tapi mereka bisa buat gue senang."
Kalimat yang bergaung di kepalanya itu lantas membuat jari-jari Dimitri menyugar rambutnya, menelusuri sela-selanya sambil memejamkan mata lalu menghela napas lelah.
Ya Tuhan, kenapa gue kepikiran, sih?
Satu lagi pertanyaan yang entah siapa yang punya jawabannya.
Kalau dihitung-hitung lagi, sebenarnya sudah lewat 24 jam sejak momen itu terjadi. Tapi pernyataan itu masih belum bisa pergi dari kepala Dimitri, sejak kemarin sore, tadi malam, saat di kampus, dan bahkan sampai detik ini. Entah kenapa fakta itu terasa cukup mengganggu. Terlebih karena selain pernyataan itu, tidak ada lagi yang Dimitri ketahui tentang perempuan itu, tentang kondisi perempuan yang baru dikenalnya kurang dari seminggu.
Dimitri masih terus melamun sampai 15 menit kemudian, sampai Echan menegurnya karena anak itu sudah selesai makan.
"Hoy, Bang!" sentak Echan. "Yaelah, diem-diem bae. Dipanggil dari tadi juga. Lo kenapa, sih? Sakit perut? Kebelet pup? Kamar mandi kosong kali."