10

1.7K 322 87
                                    

Tanpa Dimitri sadari, mengunjungi rumah sakit telah menjadi salah satu rutinitas dalam kehidupannya sehari-hari. Mungkin sudah terbentuk sejak saat Echan dilarikan ke rumah sakit tempo hari, kemudian terus berlanjut meski adiknya sudah tidak dirawat di sana lagi karena sekarang dia punya orang lain lagi yang selalu ingin dia temui.

Benar, pernyataan terakhir itu benar.

Dimitri tidak merasa menemui Edith adalah sebuah keharusan, melainkan sebuah keinginan. Edith sudah mengatakannya, bahwa dia bisa mati kapan saja. Tapi setelah perempuan itu menegaskannya sekali lagi melalui sebuah pertanyaan yang sebenarnya hanya tentang kesediaan, Dimitri seolah-olah ditampar kenyataan bahwa tidak ada yang tahu seberapa banyak lagi waktu yang mereka miliki. Maka dari itu, Dimitri sudah memutuskan bahwa sebagian waktunya adalah milik Edith, seperti yang dia janjikan pada perempuan itu.

Namun demikian, sebagian bukan berarti semua. Dimitri masih punya kehidupan lain yang tidak kalah pentingnya. Rutinitas yang dia tetapkan pun bukan berarti setiap hari, melainkan setidaknya dua hari sekali. Dia tetap tidak bisa apa-apa kalau kegiatan kampusnya sudah minta diprioritaskan, baik itu akademik maupun non-akademik. Jadi kalau dia datang hari ini, dia tidak akan datang esok hari. Tapi dia akan datang lusanya, meski tidak datang lagi tulatnya, dan akan kembali lagi tubinnya. Begitu seterusnya.

Maka setelah absen di hari sebelumnya, setelah meminta izin pada keluarganya untuk menghabiskan sebagian besar waktu di akhir pekannya bersama orang lain ketimbang mereka, Dimitri tidak bisa tidak panik ketika tidak menemukan Edith di tempat tidurnya. Tidak juga di kamar mandi, dan tidak di mana pun yang masih bagian dari kamar inap itu.

Dith, lo di mana?

Dimitri bertanya-tanya dalam kepala, mulai khawatir karena perabot yang ada di ruangan itu seperti tidak disentuh dalam beberapa waktu. Semuanya rapi, dan dingin. Seolah-olah pemiliknya memang sudah tidak di sana entah sejak kapan hari.

"Loh? Kamu?"

Dimitri menoleh cepat ke sumber suara, mendapati seorang perawat yang selalu Edith panggil dengan sebutan Kak Shanaz berdiri di ambang pintu. Dimitri tidak perlu berpikir dua kali untuk segera menghampiri Shanaz.

"Maaf, Edith di mana?" tanya Dimitri tanpa tedeng aling-aling. Sekarang sudah pukul 11 lewat, yang berarti Edith seharusnya tidak sedang melakukan apa-apa mengingat rutinitas paginya selesai di pukul 10.

Shanaz tidak langsung menjawab. Dia menelisik wajah Dimitri, mengamati sosok di depannya itu lamat-lamat sebelum akhirnya menjawab dengan datar, "Di ruang operasi."

"A-apa?"

Shanaz hanya diam, tidak berniat mengulang jawabannya karena dia yakin Dimitri pasti mendengarnya dengan baik. Terbukti dari diamnya laki-laki itu yang sepertinya sudah larut dalam pikirannya sendiri.

Operasi? Operasi apa? Memangnya dia kenapa? Apa kondisinya seburuk itu sampai harus dioperasi? Apa operasinya bahaya? Sudah berapa lama? Kapan operasinya selesai? Dia bakal baik-baik aja, kan? Dia masih bakal hidup, kan? Gue masih bisa ketemu lagi, kan?

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang menyerbu kepala Dimitri di saat yang bersamaan. Saking paniknya, dia seperti sudah tidak menganggap Shanaz ada di depannya. Lupa juga kalau tanyanya bisa saja menemukan jawab kalau saja dia menyuarakannya dan bukan hanya memutar-mutar semuanya di kepala.

Shanaz bisa saja bersikap tak acuh dan langsung pergi. Tapi karena mengingat Edith, dia akhirnya menghela napas panjang. "Apa masih ada kepentingan lagi? Kalau nggak, saya—"

"E-eh! Sebentar!" potong Dimitri cepat. "M-maaf, kalau boleh tau, Edith kenapa sampai harus dioperasi? Dan, apa operasinya bahaya?"

Satu alis Shanaz kontan meninggi. Dia tidak menyangka Edith tidak memberitahukan orang di depannya mengenai hal ini padahal dia datang hampir setiap hari.

Candle LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang