"Bang."
"Hm."
"Bang."
"Hm."
"Bang!"
"Hm!"
"Bang bang in to the world!"
Untuk pertama kalinya sejak duduk di hadapan laptopnya, Dimitri akhirnya menolehkan kepala ke arah adiknya, melempar tatapan tidak percaya sekaligus muak di saat yang sama. "Apaan, sih?"
Echan mengangguk seraya tersenyum puas. "Lagian, dipanggil-panggil dari tadi, jawabannya ham hem ham hem mulu kek orang sariawan. Dibuat nggak bisa ngomong beneran sama Tuhan baru tau rasa lo, Bang!"
Dimitri lantas memutar kedua manik matanya. "Kenapa? Lo mau apa? Ngomong buruan."
Kembali mengulas senyum, Echan mengambil bantal terdekat kemudian memeluknya. "Bang, lo nggak mau jelasin sesuatu ke gue?"
"Tentang?"
"Ya ... apa aja yang kira-kira bisa lo jelasin?"
Dimitri mengernyit. Dia melirik laptopnya sekilas lalu kembali ke adiknya. "Materi kuliah gue mau?"
Detik itu juga bantal yang tadi dipeluk Echan melayang ke arah Dimitri. "Ya ampun, Tuhan. Kok bisa-bisanya gue punya kakak kayak gini? Bunda salah apa sampai punya anak kayak dia?"
"Tch, you don't have to be this rude, Christian."
"And you shouldn't be that dumb, Dimitria."
Kalau sudah berbicara dengan format seperti itu, tensi di antara keduanya otomatis berubah. Masing-masing saling menatap sengit, menunggu siapa yang akan mengalah lebih dulu, yang adalah percuma karena dua-duanya sama-sama punya jiwa kompetisi yang tinggi.
Tapi keadaan itu tentunya tidak bertahan lama. Tepat di detik ke 60, dua-duanya serempak tergelak menertawakan raut wajah masing-masing.
Echan menyugar rambutnya ke belakang. "Tau ah, Bang! Nunggu lo ngerti sendiri sama aja kayak nunggu gerhana, jarang terjadi alias LUAMHA!"
"Siapa suruh pake kode-kode segala? Kayak cewek aja."
"Oho?" Echan mengernyit, memasang seringai jahil di wajahnya lalu menopang mukanya dengan kedua tangannya. "Kebetulan lo sebut-sebut, gue rasa kabelnya udah nyambung sekarang. Jadi gue bakal langsung aja. Ada apa sama cewek yang di rumah sakit tadi?"
Satu alis Dimitri kontan bergerak melawan gravitasi. "Cewek siap—Edith maksud lo?"
"Mm-hm." Echan mengangguk mantap. "Emang ada yang lain lagi? Woah, punya berapa cewek lo di rumah sakit?"
Bantal yang tadi dilempar Echan kini kembali terlempar ke arahnya. Tidak seperti kakaknya yang berhasil menghindar, bantal itu mendarat tepat di muka Echan. Dia lantas menghirup napas cepat seraya menyentakkan kepala. "Ini kalau sampai lo nggak cerita, wah ... udah keterlaluan banget namanya. Bisa-bisanya muka tampan nan rupawan gue ditimpuk bantal. Bener-bener nggak punya etika!"
Kembali dua bola mata Dimitri berotasi. Dia cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar betapa lebaynya kata-kata pilihan adiknya. "Makanya kalau mau ngomong apalagi sama yang lebih tua, belajar sopan-santun dulu. Apa-apaan lo ngomongin gue kayak gitu? Lo kira cewek tuh koleksi sampai nanya gue punya berapa?"
"Idih idih idih, ucap seseorang yang nggak pernah punya pacar sebelumnya." Echan kembali memasang seringai jahil seraya memangku wajahnya. "Jadi, orang se-spesial apa Kak Edith ini?"
"Lo—"
"Eits, sstttt! Udah, nggak usah banyak cing-cong. Gue ingat banget sejak mulai masuk SD, lo selalu memperkenalkan diri sebagai Dwayne karena Dimitria kepanjangan dan Dimi terlalu imut buat nama panggilan. Nggak ada yang manggil lo dengan empat huruf itu kecuali gue, Ayah, sama Bunda. Keluarga besar kita bahkan manggil lo dengan Dimitri. Jadi, ada apa gerangan sampai lo membolehkan orang ini manggil lo dengan nama yang hanya berlaku di keluarga inti? Jawaban apalah arti sebuah nama itu nggak berlaku ya, Bang. Jangan coba-coba."
