5

2.2K 479 113
                                    

"Yang ijo, Chan! Yang ijo!"

"Yang biru! Yang biru!

"Yang merah! Yang merah!"

Echan menoleh, menatap datar pada sosok di sebelahnya yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakaknya. Yang ditatap tampak tidak peduli, malah semakin menunjuk-nunjuk layar hp Echan.

"Itu yang kacang merah, Chan! Lima itu!"

Mau tidak mau Echan menurut, menggerakkan jemarinya menukar kacang merah dengan permen lain di atasnya hingga muncul coklat bulat dengan hiasan warna-warni yang tampak seperti berlian. Echan kembali menggerakkan coklat itu sebagai sentuhan akhir sebelum game-nya selesai dalam keadaan menang.

"Yes! Wuuuh!" Dimitri bertepuk tangan, jelas sedang senang dan bersemangat. Berbanding terbalik dengan adiknya yang kini meletakkan hpnya lalu membuang napas jengah.

"Bang, plis, deh. Sampai kapan sih kita mau ngelakuin hal menggelikan ini?"

Dimitri yang tidak mengerti mengerjap beberapa kali lalu menatap adiknya heran. "Apanya?"

"Ya ... ini!" Echan memaksudkan posisi mereka saat ini, di mana dia merapat di tempat tidurnya dengan bagian kepala yang ditinggikan sehingga terlihat seperti sedang duduk dan Dimitri bergabung di sebelahnya, memanjangkan satu tangannya merangkul Echan dan sesekali menempelkan kepala mereka atau secara impulsif memeluk adiknya itu.

Dimitri kembali mengerjap, tidak menemukan hal yang salah dari perbuatannya. "Kenapa emangnya?"

"Kenapa emangnya?" Echan mengulang pertanyaan kakaknya dengan tatapan tidak percaya. Dia lalu mengusap pelan wajahnya. "Dari tadi tuh gue mikirnya lo lagi kesurupan setan ganjen tau, nggak? Nempel-nempel mulu kayak anak koala. Tapi gue diemin karena ya apalah gue? Udah nggak bisa gerak, bukan exorcist pula! Gue cuma bisa berdoa dalam hati biar gue dilindungi dan nggak diapa-apain. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, setan ganjen macam apa yang main Candy Crush?!"

Tidak. Echan tidak sedang marah. Tidak sedang kesal juga. Kalau boleh jujur, justru dia sama sekali tidak keberatan dengan perlakuan kakaknya. Pendingin ruangan di kamar ini bekerja dengan terlalu baik sampai selimut sama sekali tidak berguna bahkan ketika suhunya sudah dinaikkan. Keberadaan Dimitri di sebelahnya cukup membantu mengusir rasa dinginnya, apalagi ketika kakaknya itu memeluknya. Rasanya hangat sekali. Echan bahkan hampir lupa bagaimana rasa hangat peluk kakaknya jika hari ini tidak diingatkan kembali.

Tapi justru itu masalahnya!

Echan hampir lupa karena yang terakhir kali memang sudah lama sekali. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka sedekat ini—dalam arti harfiah. Dan itu membuatnya sangat malu terlebih mengingat usia dan ukuran tubuh mereka saat ini.

Oh, dan sejujurnya, dia tidak suka diperintah saat main game.

"Lo kalau mau main ya main di hp lo sendiri, lah! Nggak usah nyempil-nyempil main di gue. Percuma hp mahal kalau nggak dipake," sambungnya.

Dimitri tidak langsung menanggapi. Salah satu ujung bibirnya tertarik melawan gravitasi begitu menemukan celah dari hal-hal yang dikomplain adiknya. "Ooh, jadi cuma masalah game doang? Berarti gue di sini nggak masalah, kan?"

"Ya ... ya itu ..." Echan mengalihkan pandangan ke samping, mencoba mencari alasan yang tidak terlalu memalukan untuk dilontarkan. Tapi belum sempat dia menemukan jawaban, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampakkan Bunda yang terlihat sama clueless-nya dengan dirinya.

Ada hening beberapa detik sebelum Bunda akhirnya melangkah masuk walau hanya dua langkah dari pintu. Bohong kalau Bunda tidak terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang, mengingat kedua putranya itu jauh lebih sering beradu mulut ketimbang memperlihatkan afeksi secara terang-terangan. Bunda tahu betul kalau anak-anaknya sama saja, sama-sama sulit jujur dengan perasaan mereka. Maka melihat keduanya kini berada di atas bed dengan si bungsu dalam rangkulan si sulung, Bunda jadi bingung. Mau tertawa, nanti mereka berkelahi lagi. Mau menggoda, tapi keduanya saudara dan sebenarnya hal ini wajar-wajar saja.

Candle LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang