2

3.8K 599 136
                                    

Sudah tidak terhitung berapa banyak kali Echan mengutak-atik hpnya selama sepuluh menit terakhir, berulang kali masuk-keluar aplikasi dari satu media sosial ke media sosial yang lain. Mungkin sudah ribuan kali saking cepatnya dia berpindah. Dan dari ribuan kali itu, tidak satu kalipun dia melakukan apa-apa, sekalipun itu hanya pada satu aplikasi saja. Dia merasa terlalu risih sampai tidak bisa menikmati apa yang—ingin—dia lakukan. Dan semua itu gara-gara ulah kakaknya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dwayne Dimitria. Sejak tadi Dimitri tidak berhenti menatapnya, menatap dalam artian sebenar-benarnya menatap ke arahnya.

 Sejak tadi Dimitri tidak berhenti menatapnya, menatap dalam artian sebenar-benarnya menatap ke arahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tck, argh!" Echan menyerah. Dia membuang napas kasar, meletakkan hpnya lalu membalas tatapan kakaknya. "Bang!" panggil Echan dengan nada yang agak kesal.

"Hng?"

"Lo tuh nggak ada kerjaan lain apa?"

Alis Dimitri meninggi sebelah. "Hah?"

"Nugas kek, belajar kek, nonton YouTube kek, atau apa gitu selain ngeliatin gue?"

Dimitri berpikir sejenak, yang kemudian berujung dengan mengangkat kedua bahunya. "Banyak, sih. Tapi gue lagi nggak mood."

Jawaban itu kontan membuat kening Echan berkerut heran. "Nggak mood gimana? Terus maksudnya lo lebih mood ngeliatin gue gitu? Sumpah lo, Bang?"

Dimitri hanya mengerjap, bingung kenapa adiknya itu mempermasalahkan apa yang sejak tadi dia lakukan. "Lo kenapa, sih?"

"Hah? Gimana, gimana? Kenapa lo bilang? Lo tanya gue kenapa?" Gantian kali ini Echan yang mengerjap, terperangah tidak percaya. Dia lantas mengusap pelan wajahnya. "Nih ya, Bang. Yang mestinya nanya tuh gue. Lo tuh kenapa, sih? Habis kesambet apaan sampai lo ngeliatin gue gitu banget? Ada yang salah sama muka gue? Atau ada yang salah sama otak lo?"

Dimitri terdiam, sementara Echan masih tidak bisa mengenyahkan kerutan-kerutan di keningnya.

Sebenarnya, si bungsu ini cukup sadar kalau nada bicaranya mulai tidak terdengar bersahabat, apa lagi untuk persoalan yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Tapi mau bagaimana lagi? Dia masih terlalu bingung bahkan untuk mengendalikan dirinya sendiri.

Echan memang menyayangkan situasi yang kelewat sepi di rumahnya selama ini. Ayah yang terlalu sibuk bekerja, bunda yang sibuk ke mana-mana, dan kakak yang juga sibuk dengan urusannya. Dia mengakui bahwa memang, dia ingin sedikit lebih diperhatikan keluarganya. Tapi ketika dia memikirkan tentang keinginannya itu, bukan perhatian jenis ini juga yang dia mau!

Mengerti ke mana arah pembicaraan yang diinisiasi adiknya, Dimitri akhirnya memilih mengalah. Toh dia juga tidak bisa memberikan jawaban yang Echan inginkan—tidak mau lebih tepatnya. Dia tidak bisa membiarkan Echan tahu apa yang ada di kepalanya, bahwa dia sebenarnya khawatir dan merasa bersalah atas apa yang menimpa adiknya itu, dan bahwa sangat aneh rasanya melihat Echan yang biasanya aktif jumpalitan ke sana-kemari kini hanya bisa berbaring tanpa melakukan apa-apa. Membayangkan situasi di mana dia mengatakannya saja dia tidak bisa. Apa lagi kalau harus benar-benar melakukannya? Tidak. Tidak bisa. Itu terlalu ... memalukan. Mereka memang akrab, tapi tidak se-terbuka itu.

Candle LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang