satu.

11.8K 1.2K 27
                                    

***

Taehyung itu aslinya kebo. Betul-betul tidak akan bangun walau petir besar menyambar atau gempa sekaligus. Persis turunan Kim Yoongi—abang keduanya. Ups, tapi jangan bilang siapa-siapa.

Sementara Jimin sudah rapi. Dia ada jadwal pemotretan untuk brand ambassador parfum pagi ini. Saat ingin turun untuk sarapan, ia melintasi kamar sang adek. Ide jahil untuk mengganggu si bungsu pun terlintas di benaknya.

Dibukanya kamar Taehyung, menampilkan sang empu kamar yang masih asik bergelung dengan selimut di kasur besarnya. Tidurnya tampak tenang, persis seperti anak bayi. Meringkuk di sudut kanan membelakangi dinding kamarnya.

Jimin melangkah pelan lalu melirik jam di atas nakas. Pantas saja Taehyung belum bangun. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi—masih ada waktu setengah jam lagi sebelum Seokjin naik untuk membangunkan para adik-adiknya untuk beraktifitas. Jimin memang berangkat lebih awal saat ini—menghindari macetnya jalanan ibukota di pagi hari.

"Adek~" Nada suaranya mendayu-dayu seiring bokongnya mendarat tepat di sebelah Taehyung yang tidur. Tangannya dengan usil menoel pipi gembil milik si bungsu, walau tak ada reaksi yang ia terima. "Adek, ayok bangun ini udah hampir jam sembilan." Jimin berbisik tepat di telinga Taehyung.

Si bungsu menggeliat pelan, merasa terganggu dengan bisikan-bisikan yang dilakukan Jimin. Dahinya sudah mengkerut tak nyaman dengan tangan kanan yang terkepal imut di atas kepalanya. "Eung~"

Kali ini Jimin lebih semangat. Sedikit mengguncang lengan Taehyung, membuat sang empu mengkerut dengan mata menyipit tajam. "Adek, ayo bangun! Udah hampir jam sembilan, kamu gak kuliah?!"

Mendengar nada heboh Jimin yang terdengar meyakinkan—Taehyung terduduk dengan cepat. Otaknya bekerja secara mendadak saat mendengar jika saat ini sudah hampir jam sembilan. Padahal, ia ada kelas jam sepuluh hari ini. Tak akan cukup waktu sejam untuk bersiap. Apalagi jarak tempuh rumah ke kampusnya yang membutuhkan waktu 45 menit.

Taehyung merengek, "Abaaaang! Kenapa gak bangunin adek?!"

Jimin menahan tawa saat Taehyung menyibak selimutnya untuk bergegas ke kamar mandi. Bahkan beberapa kali si bungsu itu tersandung kakinya sendiri, jalanannya juga masih sempoyongan. Belum mengumpulkan nyawa dengan betul.

Hingga sebuah bunyi mengagetkan Jimin yang tengah membalas pesan singkat managernya. 

Duk!

"Aduh!"

Taehyung jatuh terduduk di depan pintu kamar mandi. Mengelus kepalanya yang terantuk lumayan keras oleh pintu kaca itu.

"Kok bisa kejedot, sih, dek?" Jimin menghampiri si bungsu. Membantunya mengelus dahi yang kini sedikit nyeri. Memang, tingkat toleransi sakit yang Taehyung miliki itu rendah. Jadi tak heran, sakit sedikit bisa menjadi sakit banget menurut Taehyung. "Adek, kalau jalan matanya dipake."

Taehyung sontak menoleh tajam—memberikan tatapan paling mematikan yang ia punya pada Jimin. Walau sang abang malah mengelum senyum, menahan gemas. "Kalau jalan ya pake kaki. Ih, abang!"

Jimin terkekeh, lalu mengacak rambut si bungsu. Membuatnya semakin merengut sebab rambutnya semakin mencuat kesana kemari berantakan. "Ya, pake dua-duanya dong adek kesayangan abang."

"Abisnya udah jam sembilan, abang! Adek telat nih, nanti." Taehyung kembali bangkit, walau sambil mengelus dahinya yang masih sedikit nyeri.

Jimin kembali menahan senyumnya—teringat ia yang mengerjai si bungsu pagi ini. "Yaudah sana—"

Belum sempat Jimin menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar Taehyung kembali terbuka. Kali ini Seokjin dengan apron berwarna merah muda terpasang apik di tubuhnya berdiri di ambang pintu. Bingung melihat Jimin dan Taehyung yang tumben sekali sudah bangun sepagi ini.

𝐒𝐖𝐄𝐄𝐓!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang