Gaza menghentikan sepedanya di depan rumah bercat coklat dan krem itu, rumah Selika.
Setelah berkeliling-keliling akhirnya dia berhasil juga menemukan rumah Selika. Itu pun berkat dia bertanya-tanya pada anak-anak yang bermain di sekitar sana. Gaza sedikit terkejut juga, ternyata anak-anak di sini semuanya kenal sama Selika. Dan mereka dengan senang hati menunjukkan yang mana rumah Selika. Ternyata Selika se-famous itu di kalangan anak-anak.
Gaza sedikit mengamati sekitar. Rumah Selika berada di antara dua rumah. Dan di antara ketiganya, halaman rumah Selika yang paling rapi, ada banyak bunga berwarna-warni. Gaza tahu, bunga itu pasti Selika yang menanam, karena warnanya terang seperti Selika yang ceria. Seyakin itu emang Gaza, mentang-mentang bunganya cerah, trus tumbuh dipekarangan rumah Selika, langsung diklaim Selika yang menanam.
Gaza tersenyum kecil. Baru membayangkan Selika yang menyapanya sambil tersenyum saja sudah membuatnya sebahagia ini. Apa ... begini ya, yang orang bilang jatuh cinta?
Kemudian ia turun, membuka pagar rumah Selika yang hanya sedada dan berfikir beberapa saat sebelum mengetuk pintu bercat cokelat itu.
"Assalammualaikum."
"Waalaikumussalam."
Seorang wanita empat puluhan membuka pintu. Wajahnya masih terlihat cantik, dan penuh kelembutan. Gaza tebak itu adalah ibunya Selika, karena wajah keduanya begitu mirip. Sekarang Gaza tahu, dari mana datangnya wajah cantik Selika itu.
Ibu Selika sedikit berjengit menatap Gaza, mungkin heran.
Gaza tersenyum, sedikit canggung sebenarnya. Calon mertua bikin grogi aja. Kemudian ia segera mengenyahkan fikiran halunya dan bertanya, "Selika-nya ada, Tante?"
Kira, Ibu selika semakin mengernyit menatap Gaza heran. Tante? Biasanya anak-anak sini sering memanggilnya "etek". Lagian ... sejak kapan Selika punya teman remaja? Cowok lagi. Bahkan Kira rasa anaknya itu hanya berteman dengan anak-anak saja. Namun, dari pada memikirkan hal ini lebih lama, Kira tersenyum.
"Selika-nya ada di dalam. Sebentar, Tante panggilkan dulu." Kira sedikit meringis ketika menyebut dirinya "tante". Rasanya aneh sekali. Udah kayak orang kota-kota aja. "Masuk dulu, tunggu di dalam saja," ujarnya kemudian, menawari Gaza masuk dan menunggu di dalam.
"Saya tunggu di sini aja, Tante." Gaza lagi-lagi tersenyum, kemudian duduk di kursi teras.
Kira mengangguk, kemudian memanggil Selika, "Lika, ada temenmu tuh."
"Siapa, Bu?"
"Gak tau, cowok."
Selika mengernyit. "Bibi?"
"Bukan ih. Cowok seumuran kamu." Kira menjelaskan ciri-ciri Gaza, "Pacarmu ya?" dan kemudian menatap Selika menyelidik.
Selika semakin heran dong, dia yang sedang menjahit kain perca untuk baju boneka langsung menghentikan kegiatannya. "Pacar apa sih, Bu?" ujarnya kemudian langsung beranjak dan melirik ke luar pintu. Oh, Gaza ternyata.
Selika keluar, kemudian menghampiri Gaza. "Ada apa, Za?" tanyanya kemudian.
Gaza sadar dari lamunannya, kemudian menoleh ke samping. Eh, cantiknya. Rambut selika yang dibiarkan tergerai hingga bahu, tidak dikuncir seperti biasanya. Sweater peach oversize selutut, tidak mengenakan kaus oblong dan celana lepis seperti biasanya. Di mata Gaza, Selika terlihat lebih cantik dan anggun dengan setelan seperti ini. Tidak terlihat seperti gadis yang suka main tanah atau kelereng. Benar-benar berbeda. Atau mata Gaza yang salah ya?
"Gaza, ada apa?"
Gaza mengerjap-ngerjap, kemudian gelagapan sendiri. "Itu. Kamu gak pergi ke lapangan?" tanyanya kemudian.
"Enggak ah, aku mau bikin baju boneka aja di rumah," jawab Selika kemudian mengendikkan bahu. Sebenarnya Selika mau sih, ke lapangan hari ini, tapi baju-baju bonekanya harus selesai, biar nanti bisa dipamerin ke Cacha atau Lili, kalau Selika tidak perlu beli baju-baju boneka, dia buat sendiri juga bisa.
Gaza terkekeh. Sepertinya dia lupa, kalau Selika itu masih suka bermain seperti anak-anak.
"Mau temenin aku keliling pake sepeda gak? Aku yang boncengin," tawarnya kemudian. Menatap Selika penuh harap.
Selika tampak menimbang-nimbang. "Tapi sepeda kamu gak ada boncengannya, trus aku mau duduk di mana?"
Gaza menoleh ke arah sepedanya. Benar juga. Gak mungkin kan, Selika disuruh berdiri di belakang, seperti ia memboncengi Evan, temannya di Jakarta.
Gaza berfikir kemudian. Tanpa sengaja ia menatap sepeda biru yang tersendar di dinding depan rumah Selika. Sepeda yang biasanya dikenakan Selika ke sekolah.
"Pakai sepeda kamu aja gimana?"
Selika melirik sepedanya.
"Tapi aku belum selesai bikin baju bonekanya."
"Nanti aku bantuin, sekalian aku cari desain-desain yang bagus."
"Emang kamu bisa?" Selika menatap Gaza ragu.
"Bisa dong, dulu pas kecil aku sering jahit-jahit pakai mesin Mama. Jadi kalau bikin baju-baju boneka gitu sih bisa."
Benar kok yang dibilang Gaza. Mama Gaza pemilik butik yang sekarang cukup besar dan terkenal di Jakarta. Dulu dia sering memakai mesin jahit mamanya untuk bermain, membuat baju-baju kecil seperti yang dibuat mamanya. Karena terbiasa, jadi Gaza sedikit mengerti tentang jahit-menjahit.
"Serius?"
Gaza mengangguk meyakinkan. "Jadi ... mau gak?"
"Yaudah deh. Ayo kita sepedaan!" sorak Selika kemudian mengacungkan tangannya yang terkepal ke udara dengan mata berbinar-binar.
"Super Gaza, ayo antar Super Lika mengelilingi semesta dan menangkap penjahat!"
Selika berlari, menghampiri sepedanya dan mendorongnya keluar halaman.
Gaza terkekeh kecil. Bersama Selika, kenapa semuanya terasa menyenangkan?
"Super Gaza siap mengantar Super Lika!" Gaza balas bersorak kemudian berdiri.
Ternyata ... jadi seperti anak-anak itu juga menyenangkan ya? Dan, apa tadi Gaza baru saja mendapat gelar pahlawan supernya? Super Gaza? Keren juga.
Di balik pintu, Kira terkekeh-kekeh melihat interaksi dua remaja itu. Kemudian menyembulkan kepalanya dari pintu, "Hati-hati, ya."
Gaza langsung diam, kemudian menoleh ke arah pintu, dan tersenyum malu-malu. "Eh, Tante. Gaza sama Selika pergi dulu, ya, Tante," ujarnya kemudian masih malu-malu.
Kira tersenyum, kemudian mengangguk. Mengacungkan satu jempolnya pada Gaza. "Asal Selikanya dibalikin dengan selamat sih gak pa-pa."
Gaza balas tersenyum, "Siap Tante." Dan setelah berpamitan, dia menyusul Selika yang sudah menunggu di tepi jalan.
Kira terkekeh lagi setelah menyaksikan dua remaja itu pergi. "Anak-anak jaman sekarang ada-ada aja modusnya." [ ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Selika [Completed]
Teen FictionSelika Naurami itu kekanakan. Sukanya main layang-layang atau bongkar pasang. Dia tidak peka. Dia cuek. Dia tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Dia ... tetaplah dia yang hanya peduli pada lingkar dunia anak-anaknya. Dia selika, yang menarik se...