9 - Cemburu

90 54 38
                                    

Kantin tampak ramai dan penuh, Naura dan Daffa mencari-cari tempat yang kosong dengan posisi masih berdiam di ambang pintu kantin. Mereka sudah merencanakan untuk selalu bersama dalam waktu luang, layaknya pasangan pada umumnya.

Daffa mendapati seseorang yang baru saja menyelesaikan acara makannya mungkin. Tanpa berkata apapun, Daffa berjalan mendekati meja kosong tersebut, pastinya dengan tangan yang masih setia menggandeng Naura.

“Duduk! Gue yang pesan,” suruh Daffa agar tidak ada yang menempati meja mereka.

Naura mengangguk dan menurutinya saja. Ia mencengkeram lengan Daffa dengan cukup kuat setelah mendapati Daffa yang akan berlalu begitu saja. Ringis kesakitan terdengar mengkhawatirkan.

“Kenapa sih?” tanya Daffa seraya menatap sendu lengan kirinya yang sudah sobek kecil dengan mengeluarkan sedikit darah akibat kuku-kuku Naura.

“Ya ampun, Daff, sorry banget,” sesal Naura ketika mengetahui kondisi lengan Daffa saat ini. “Daff, sorry.”

“Udah terjadi, mau bagaimana lagi?” balas Daffa tetap tenang.

“UKS sekarang,” ujar Naura dengan raut khawatir bercampur ketakutan.

"Cuman luka dikit, elah lebay lo!" Cibir Daffa.

Sayangnya, Naura tak mendengarkan cibiran Daffa. Ia terlalu keras kepala untuk saat ini. Detik berikutnya, Naura bangkit dari kursi kantin dan menarik tangan Daffa menuju UKS. Namun, tanpa sadar ia menarik lengan kiri Daffa yang terluka.

“Untung gue sabar,” gumam Daffa pelan.

Karena terlalu fokus oleh jalanan dan pikirannya diselimuti rasa bersalah, Naura hanya mendengar samar-samar ucapan Daffa. Namun tidak jelas, semacam gerutuan. Kemudian Naura menoleh dan menautkan kedua alisnya, seakan menyiratkan sebuah pertanyaan.

“Gue tau lo takut gue marah, tapi jangan bikin gue tambah marah dong!” Ujar Daffa tetap dengan raut tenang, tidak ada ekspresi yang menunjukkan kesakitan sama sekali.

“Apasih? Gue nggak ngerti,” balas Naura semakin bingung dengan ucapan Daffa.

Kali ini Naura semakin mempercepat langkahnya agar cepat sampai di UKS.

“Nana, tangan gue sakit!” keluh Daffa sedikit berteriak. Ia sudah tak tahan lagi dengan cekalan tangan Naura.

“Iya, makanya gue cepetin jalannya,” balas Naura semakin mempererat cekalan tangannya.

Daffa menepis tangan Naura sedikit kasar, membuat gadis itu tersentak. “Lo mau nyiksa gue atau gimana sih? Heran, gue."

Naura mengikuti arah pandang Daffa yang mengelus pelan tangan kirinya. Betapa terkejutnya Naura ketika mendapati lengan Daffa semakin merah.

“Daff,” ujar Naura semakin takut, ia meremas-remas roknya. “Ma.. maaf.”

Daffa yang menyadari perubahan sikap Naura hanya menggeleng pelan. Ia sangat tau jika gadis ini sudah melakukan kesalahan pada seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya dan sangat disayanginya, ia tak segan-segan akan melakukan apapun agar kesalahannya termaafkan.

Daffa bukan orang lain. Dia sudah dianggapnya sebagai seorang kakak dari ibu yang sama. Sedari kecil, mereka selalu bersama melewati berbagai lika-liku kehidupan pada masanya.

Saat ini Naura sangat takut, takut jika Daffa akan memarahinya walaupun itu sangat jarang terjadi kalau bukan karena kesalahan yang sangat fatal ataupun keadaan yang sedang tidak mendukung. Itu pun tidak akan bertahan lama.

“Lo diam malah bikin gue sakit, Na,” ujar Daffa menenangkan.

“Jangan bercanda, Daff! Gue lagi takut,”

Berujung KawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang