16

908 66 4
                                    

Mungkin seharusnya, Kay menolak saja ide Ian tadi. Kay menyesal sudah pergi ke lapang bawah yang ternyata lapangan itu sedang dipakai oleh anak basket yang akan ikut turnamen.

   Masalahnya bukan pada anak basketnya, tapi pelatihnya yang tidak ingin Kay temui di sekolah ini. Karena panik, Kay sampai lupa kalau Marvel akan berada disini untuk persiapan turnamen.a Mereka–anak tim basket– mendapat dispensasi khusus dari kepala sekolah untuk latihan dari jam sepuluh, agar tidak pulang ke sorean. Itulah kenapa, Marvel sudah ada di sekolah sebelum bel pulang berbunyi.

"Gak usah dipeduliin, gak usah dipeduliin." Gumam Kay melapalkan mantra, "biasa aja. Pura-pura gak liat."

Kay dan Ian memutari gedung ekskul agar lebih mudah. Ian kukuh tidak mau lewat jalan pintas dekat kelas X–IPS yang penuh semak belukar. Bisa-bisa Ian terperosok dan harus absen praktek biologi yang sangat penting baginya. Ah–ralat, Ayahnya. Karena nilai Ian harus perfect di pelajaran itu.

Lain dengan Kay, dia memilih jalan pintas yang tidak harus melewati tepi lapangan, tidak peduki ada semak atau apapun yang penting tidak melewati bagian sekolah dimana ada Marvel disitu.

Tapi niatnya gagal karena ditarik paksa oleh Ian yang jelas, lebih kuat darinya.

"Lagian lo aneh banget, sih. Lo kan pake rok, kalo jatuh, bisa lecet-lecet kaki lo."

Kay mendengus, "kan, aku yang mau lecet-lecet. Kenapa kamu yang ribet? Kalo mau lewat sini ya lewat aja sendiri, kenapa larang aku lewat sana."

Ian menoleh dengan mata menyipit galak, penuh protes, "udah tanggung ini. Masih aja dibahas."

"Ya, kan, kamu yang bahas duluan!"

Ian tidak mendengarkan. Dibelakang Kay sudah mengepalkan tangan di udara, seolah akan memukul cowok jangkung didepannya itu.

Mereka sudah memasuki halaman kosong yang dipenuhi rumput liar juga beberapa pohon yang tunbuh disana. Jika berjalan sedikit lagi, mereka akan menemukan kolam tidak terurus yang dipenuhi lumut hijau untuk praktek mereka. Kolamnya tidak besar, dan hanya sebatas pinggang bawah jika untuk Ian yang jangkung.

"Kamu bawa baju ganti, emang?" Tanya Kay yang berjongkok di tepi kolam, "kan harus masuk."

"Ga perlu, kok. Cari kayu aja."

"Oh iya." Kay langsung berdiri dan mencari batang kayu yang tergeletak atau apapun. Tapi yang aneh lagi, tidak ada satupun kayu panjang yang bisa mencapai tengah kolam. Kalau adapun, hanya ranting tipis yang dipakai ngangkat lumut langsung patah.

Kay juga tidak mungkin mematahkan salah satu pohon yang masih muda disana untuk dijadikan pengait. Kay menoleh dan berteriak pada Ian. "Gak ada."

"Eh, masa, sih?"

Kay mengangguk, "kayanya udah diambilin sama Mang Samsu, deh. Dia kan suka kumpulin kayu buat kayu bakar."

Ian terdiam, ia tidak mungkin juga lompat kesana dengan seragamnya, bisa-bisa Ian tidak masuk kelas juga. Jika melepas celana abu dan seragam putihnya, tidak mungkin juga Ian melakukannya didepan Kay dan harus masuk dengan hanya celana boxer dan kaos oblongnya. Tetap saja pakaian dalamnya basah.

"Kamu masuk aja." Ujar Kay nyengir, "nanti aku minta pinjem celana bekas, deh. Biasanya di ruang osis suka ada."

"Terus, daleman gue apa kabar?"

Wajah Kay langsung merah padam, "k–kenapa kamu nanyain itu sama aku?"

Sadar, Ian memalingkan wajahnya yang berubah merah, "sorry."

"Aku aja deh yang masuk, nih, kamu pegang plastiknya." Kay menarik napas dalam-dalam saat membuka sepatu dan kaus kakinya, Kay membawa baju olahraga di lokernya dan disana terselip dalaman yang tidak jadi dipakai, tadinya untum ganti setelah renang, tapi praktek renang mereka dibatalkan dan semuanya masih ada di lokernya. Kay selalu lupa membawa pulang baju olahraganya itu.

BROTHERS : The Twin [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang