18

780 60 5
                                    

"Padahal aku langsung pulang aja gak apa-apa, Bu, gak perlu repot-repot." Ujar Kay sungkan saat dirinya ditarik ke meja makan oleh Hasi dan Giselle. Ian hanya tersenyum dibelakamgnya melihat Kay yang kewalahan mengatasi dua perempuan yang Ian sayangi itu.

"Gak bisa, yang namu di rumah Ibu, harus makan dulu. Sini, duduk."

Kay duduk dengan canggung, didepannya sudah tersedia masakan yang hampir memenuhi meja panjang tersebut. Keempat kursi terisi, menyisakan satu kursi yang terpisah dari yang lain. Pastilah itu kursi untuk Om Haris, pikirnya.

Giselle memperhatikan Kay yang terus menatap kursi kosong itu, dia tersenyum, "suami Ibu belum sampai. Dia selalu bilang buat makan duluan karena pulang nya suka malem. Ayo, di makan aja, Nak."

"Oh, iya." Jawab Kay terenyak dari lamunan. Dia mengambil nasi dan lauk yang ada disana lalu mulai makan.

"Lo makannya dikit banget, sih, takut gemuk?" Bisik Ian ditelinganya. Kay menginjak kaki Ian dibawah sana sampai cowok itu meringis kesakitan. Giselle menatap bingung namun Kay hanya melontarkan senyum termanis yang dimilikinya.

"Kamu baik banget mau jadi temennya Nova, padahal, dia anaknya beneran anti–sosial." Ujar Giselle mulai bercerita, "tapi Ibu bersyukur dia mau temenan sama orang lain. Kamu juga sepertinya anak baik."

Kay tersenyum, "Ian– eh, Nova– baik kok, Bu. Cuma, emang gak pernah gaul sama orang lain kalo di kelas."

"Gue gaul sama lo." Celetuk Ian, "terus kembaran lo juga."

Kay mendelik protes dan menginjak kaki Ian sekali lagi.

"Kamu punya kembaran?" Tanya Giselle, "wah, Ibu pengen banget sebenernya punya anak kembar."

Gadis berponi itu lagi-lagi hanya tersenyum menjawabnya. Hasi ikut menyahut, "kembarannya cowok atau cewek, Kak?"

"Cowok." Kay nyengir, "mau kenalan?"

Wajah Hasi tiba-tiba merah, "nggak ah. Malu."

"Emang sebaiknya juga jangan. Tengil banget anaknya." Dengus Ian. Dia mengabaikan tatapan Kay dan Ibunya, dan memasukan nasi kedalam mulutnya lagi.

Mereka mengobrol sampai nasi di masing-masing piring sudah habis. Kay membantu Giselle dan Hasi membereskannya dan menawarkan diri untuk mencuci piring namun entah Giselle maupun Hasi menolaknya dan menyuruh Kay duduk saja.

"Udah sini lo ikut gue aja, bentar lagi mau pulang, 'kan?" Ian menarik tangan gadis itu ke ruang tamu. Dia yang memegang tangan Kay, tapi jantungnya sendiri yang berdegup dengan liar.

Kay menunggu sampai Giselle kembali untuk berpamitan karena ini sudah malam. Dia juga khawatir Sam menunghu terlalu lama diluar. "Sampein salam saya sama Om, ya, Bu. Makasih buat makanannya."

"Ah, bukan apa-apa. Nanti Ibu sampaikan, ya? Kamu pulang nya sama siapa? Biar Nova yang antar, mau?"

Kay menggeleng cepat, "dijemput Kakak. Pasti udah nunggu diluar."

Giselle membukatkan bibirnya, "yasudah. Nova, antar sampai depan kalo gitu, Nak."

Kay memakai sepatunya lalu berjalan keluar. Dia tersentak kebelakang saat membuka pintu dan seseorang berdiri didepannya. Orang yang tidak asing bagi Kay.

Tapi wajahnya sangat pucat dengan keringat mengucur di pelipisnya. Kenapa?

Bukan hanya Kay yang menyadari hal itu, dibelakamgnya, Ian juga memperhatikan wajah Ayahnya itu baik-baik. Selelah apapun Haris, Ayahnya itu tidak pernah pulang kerja dengan wajah pucat dan keringat dingin yang keluar seperti itu.

BROTHERS : The Twin [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang