18

2.2K 294 7
                                    

***

Hari ini Jiyong pulang lebih malam dari biasanya. Pria itu tiba di rumah pukul sembilan malam dan Yoona masih menunggunya di ruang tengah. Saat datang, Yoona bertanya kenapa Jiyong pulang terlambat dan tidak menghubunginya.

"Ada meeting mendadak karena di mobil hampir semua artis wanita ada sebuah alat pelacak," jawab Jiyong sembari berjalan, hendak masuk ke studionya. "Dan kenapa aku harus menghubungimu kalau aku pulang terlambat? Hanya kurang beberapa bulan sebelum kita bisa bercerai. Tidak kah lebih baik kalau kita saling mengabaikan saja?"

"Apa oppa berkencan dengan wanita lain?" tanya Yoona, yang sekarang bangkit dari sofa. Ucapannya menahan Jiyong yang akan membuka kunci studionya.

"Kenapa kau peduli?"

"Aku masih istrimu,"

"Ah... Tidak, aku tidak berkencan dengan siapapun tapi aku tidak sabar menunggu hari perceraian kita. Begitu kita bercerai aku bisa berkencan dengan wanita yang kucintai,"

"Kenapa kau bisa bicara begitu dengan sangat santai?" tanya Yoona, yang tiba-tiba saja berhenti bersabar.

"Kenapa? Kau juga bisa melakukannya. Sejak awal kau tahu kalau aku tidak mencintaimu, sejak awal kau yang menyarankan untuk membuat kontrak pernikahan itu. Satu tahun tanpa perpanjangan kecuali kau mengandung anakku, bukan begitu? Lalu apa yang salah? Kau tidak akan pernah mengandung anakku. Kau tidak berencana untuk memperkosaku kan?" ucap Jiyong, membuat Yoona mengepalkan tangannya menahan marah.

Yoona ingin tahu alasan Jiyong menolaknya sejak awal. Yoona ingin tahu alasan Jiyong tidak tertarik padanya. Yoona ingin tahu alasan Jiyong selalu menghindarinya. Tapi, wanita itu tidak bisa bertanya, karena ia takut mendengar jawabannya. Selama ini ia tidak pernah di tolak, selama ini tidak ada yang tidak tertarik padanya, selama ini ia selalu menjadi kebanggaan keluarganya. Tapi Jiyong sama sekali tidak terlihat senang karena memilikinya. Jiyong menolaknya bahkan cenderung membencinya.

"Dengar, Im Yoona. Kalau bukan karena perusahaan, aku tidak akan menikah denganmu. Jadi begitu masalah perusahaan selesai, begitu waktu perjanjian kita selesai, aku akan menceraikanmu. Atau kau boleh menceriakanku, aku tidak begitu peduli siapa yang mengajukan gugatan selama kita berhasil bercerai," lanjut Jiyong yang kemudian menghilang di balik pintu studionya. Samar-samar dari luar Jiyong mendengar Yoona berteriak karena marah, namun pria itu justru menyalakan musik untuk menyamarkan suara Yoona.

Di pagi harinya, Jiyong terbangun dari tidurnya karena panggilan dari Tuan Im. Yoona yang sudah sangat terluka karena ucapan Jiyong semalam, pasti langsung memberitahu ayahnya. Dengan malas, Jiyong jawab panggilan itu karena handphonenya terus berbunyi dan mengganggu. Kata pertama yang ia dengar adalah makian. Tuan Im marah karena Jiyong melukai perasaan Yoona.

"Kenapa kau membahas perceraian yang masih sepuluh bulan lagi?!" marah Tuan Im, yang tentu saja terlibat dalam perjanjian awal mereka– menikah satu tahun kemudian bercerai kecuali Yoona mengandung anak Jiyong.

Selain Jiyong, semua orang berharap kalau Yoona hamil lalu perjanjian itu batal dan Jiyong tidak bisa menceraikan Yoona. Semua orang berfikir kalau Jiyong pasti akan meniduri Yoona, karena naluri prianya. Mereka semua berfikir kalau Jiyong tetap akan menuruti gairah seksualnya kalau dipaksa tinggal berdua dengan Yoona.

"Karena anda terus melakukan ini, Tuan Im," balas Jiyong yang masih setengah mengantuk. Pria itu bahkan belum benar-benar bangun sekarang.

"Apa katamu?" kesal Tuan Im, terprovokasi oleh jawaban asal Jiyong.

"Karena anda terus membuatku merasa kesal, aku jadi ingin melampiaskan emosiku pada putrimu. Apa sudah cukup jelas untuk anda? Kalau begitu biarkan aku melanjutkan tidurku," oceh Jiyong yang kemudian mematikan panggilan itu secara sepihak dan mematikan panggilannya.

Berakhirnya satu panggilan memunculkan panggilan lainnya. Dengan kesal Jiyong menjawab panggilan berikutnya itu dengan sedikit ketus. "Aku sama sekali tidak punya rencana untuk meniduri putri anda, aku tidak berencana memperpanjang perjanjian kita, Tuan Im, apa yang masih membuat anda bingung?"

"Ah... Ya, syukurlah, aku tidak bingung lagi sekarang," jawab Lisa, yang menelepon Jiyong pagi ini, mengejutkan Jiyong dan membuat pria itu langsung membuka matanya, melihat layar handphone yang sebelumnya ia letakan di atas telinganya.

"Astaga, maaf sayang, ku pikir Tuan Im," jawab Jiyong yang langsung melihat wajah Lisa di layar handphonenya– itu panggilan video. "Ada apa? Kau bangun pagi sekali hari ini,"

"Tidak juga, ini sudah jam tujuh, aku hanya menelepon untuk melihat wajah oppa," jawab Lisa, terkekeh melihat wajah dan rambut Jiyong yang masih berantakan karena mengantuk. "Aku penasaran, apa kita jadi meeting pagi ini? Harusnya jam sembilan nanti,"

"Hm... Jadi, jam sembilan. Kau ingin berangkat bersamaku?"

"Jemput aku..."

"Baiklah," angguk Jiyong masih sembari berbaring, sembari mengusir kantuk yang memenuhi isi kepalanya. "Aku akan menjemputmu sepuluh menit lagi, biarkan aku tidur sebentar lagi,"

"Jangan tidur dulu! Aku punya pertanyaan kedua," tahan Lisa yang saat itu mengarahkan kameranya pada dua pakaian di atas ranjangnya. "Mana yang harus ku pakai pagi ini?"

"Uhm... Kanan," jawab Jiyong tanpa melihat pakaian apa yang Lisa tunjukan. Matanya masih terpejam karena kantuk.

"Rok?"

"Hm... Ya rok,"

"Ya! Buka matamu oppa! Yang kanan bukan rok," protes Lisa membuat Jiyong mau tidak mau harus membuka matanya dan melihat dua pakaian di atas ranjang itu– sebuah kemeja dengan celana pendek di sebelah kanan dan sebuah kaos tanpa lengan dan celana panjang di sebelah kiri.

"Uhm... Kemeja dengan celana panjang?"

"Itu tidak ada dalam pilihannya," rajuk Lisa, membuat Jiyong ikut merajuk karena enggan melihat Lisa memakai pakaian seksinya ke agensi. "Yasudah, aku akan memakai kaos dan celana pendeknya saja, cepat mandi dan jemput aku," ucap Lisa sebelum kemudian ia mematikan panggilan itu secara sepihak.

Perasaan Jiyong seperti rollercoaster sekarang, beberapa menit lalu ia luar biasa kesal karena Tuan Im dan beberapa detik setelahnya hatinya terasa sangat hangat karena panggilan Lisa. Bahkan walaupun gadis itu dengan semaunya mematikan panggilan, dengan semaunya menyuruh-nyuruh Jiyong. Anehnya, Jiyong bangkit dari tidurnya sekarang. Masih malas memang, tapi pria itu berjalan ke kamar mandi di dalam studionya. Membasuh wajahnya disana, mandi kemudian berpakaian dan pergi menjemput Lisa– mengabaikan sederet sarapan yang sudah Yoona siapkan untuknya.

Kebetulan sekali, di rumah Lisa pagi itu ada Ten dan Taeyong. Lisa masih ada di kamarnya saat Jiyong datang, Ten terlihat kesal namun ia tidak bisa berbuat banyak karena Taeyong segera menyambut Jiyong bahkan mengajaknya untuk sarapan bersama disana.

"Aku tidak tahu kalau kalian sudah ada disini pagi-pagi begini," komentar Jiyong, yang lebih memilih mengabaikan sikap ketus Ten terhadapnya. Lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu kalau Ten sedang sangat kesal padanya.

"Memang karena siapa-"

"Bisakah kau menutup mulutmu? Kau bilang aku yang gila, aku yang sakit, aku yang bodoh, aku sudah mengakuinya jadi jangan menyalahkan orang lain," potong Lisa, tidak kalah ketus, membuat Jiyong tanpa sadar tersenyum di tempatnya berdiri. Jiyong sudah berkali-kali melihat Lisa mengomel, dan Lisa selalu mempesona setiap kali bicara seperti itu.

"Kenapa kau senang-"

"Berhenti! Sekarang ada tamu disini, jadi tutup mulut kalian berdua," potong Taeyong, dengan wajah dingin khasnya yang selalu muncul di layar kaca. Wajah dingin yang selama ini selalu memikat hati para penggemar wanita.

***

WetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang