25

2.2K 294 29
                                    

***

Butuh waktu satu bulan untuk Ten pindah dari rumah Lisa. Si pemilik rumah bertanya-tanya kenapa Ten tiba-tiba saja ingin pindah rumah, tapi itu bukan masalah besar– karena Ten hanya pindah dua lantai di atas Lisa. Gadis itu masih bisa menemui sahabatnya kalau ia ingin.

"Ten," panggil Lisa disaat pria itu membawa barang-barangnya naik ke rumahnya sendiri di lantai dua. "Kalau aku merindukanmu bagaimana?" tambah gadis itu, sedikit berat melepaskan teman serumahnya bahkan hanya untuk jarak lima menit berjalan kaki– itu pun kalau liftnya mati dan mereka harus naik tangga darurat.

"Sepertinya aku juga akan merindukanmu," balas Ten sama sedihnya. "Haruskah aku tidak jadi pindah?"

"Ya! Drama apa ini?! Kalian hanya akan terpisah dua lantai!" kesal Taeyong, yang sedari tadi harus melihat perpisahan menyedihkan diantara Ten dan sahabatnya.

"Tetap saja itu terpisah," balas Ten dan Lisa, secara bersamaan dengan suara yang sama-sama lemah.

"Padahal kalian hanya bertengkar setiap kali bertemu," gumam Taeyong yang akhirnya menyerah pada sepasang sahabat itu dan meninggalkan rumah Lisa dengan dua koper di tangannya– ia sedang membantu Ten pindah hari ini, ia akan membawa dua koper itu ke apartemen baru Ten.

"Bahkan walaupun orang-orang membencimu, aku tidak akan membencimu," ucap Lisa, masih memegangi tangan Ten yang berdiri di depannya.

"Aku juga, aku tidak akan membencimu," balas Ten disusul teriakan nyaring dari Taeyong yang menyuruh Ten dan Lisa untuk segera mengikutinya– membawa barang-barang lainnya dan membantunya untuk pindah rumah.

Disaat Lisa dan Ten akhirnya keluar untuk mengekori Taeyong– dengan dua kotak barang-barang di tangan Ten dan tiga buah bingkai foto di tangan Lisa– mereka berpapasan dengan Yoona yang baru saja keluar dari rumahnya. "Kalian akan pindah rumah?" tegur Yoona, "kenapa berkemas?"

"Aku tidak pindah," jawab Lisa, karena Yoona menatapnya. "Hanya Ten yang pindah," tuturnya dan Yoona menganggukan kepalanya tanda mengerti.

"Syukurlah," gumam Yoona. "Bagaimana pekerjaan di agensi? Apa kau masih bekerja dengan suamiku?" tanya gadis itu yang kemudian memberitahu Lisa kalau sekarang ibunya sedang dirawat di rumah sakit karena hipertensinya. "Aku ingin memberitahu Jiyong oppa, tapi aku khawatir itu akan mengganggu pekerjaannya," sedih Yoona membuat Lisa bergegas melepaskan barang-barangnya kemudian menepuk bahu Yoona, memberi gadis itu semangat agar Yoona tetap kuat selama ibunya sakit.

Lisa bilang kalau Yoona harus memberi tahu Jiyong. Gadis itu juga memberitahu Yoona kalau Jiyong tidak akan membiarkan apapun mengganggu pekerjaannya. Lisa bilang kalau Jiyong lebih profesional dibanding siapapun, di agensi. "Bahkan saat putus dengan kekasihnya, Jiyong oppa tetap berangkat bekerja. Dia sangat profesional. Jiyong oppa, sepertinya selalu bisa memikirkan segala hal bersamaan. Dia bisa mengatasi rasa sedihnya dan beban pekerjaannya sekaligus,"

"Begitu? Pantas saja dia bisa memikirkan dua wanita sekaligus," jawab Yoona membuat Lisa langsung menunjukkan wajah bingungnya. Lisa khawatir Yoona mengetahui hubungannya dengan Jiyong, sedang ia tidak bisa menembus tempurung kepala Yoona untuk melihat bagaimana isi kepala itu. "Uhm... Aku hanya merasa begitu, kalau begitu sekarang aku harus pergi, aku tidak bisa menganggumu terlalu lama, maaf," susul Yoona disaat Lisa masih diam di tempatnya, tidak berkomentar karena ia khawatir komentarnya akan menghasilkan sesuatu yang tidak semestinya. Lisa takut hubungan dengan Jiyong ketahuan.

Hari itu Ten selesai dengan semua barang-barangnya. Saat Lisa duduk di rumahnya, ia kehilangan pemandangannya yang biasanya. Bingkai-bingkai foto, gambar-gambar Ten dan segala jenis mainan kecil milik pria itu yang selalu berantakan malam ini telah menghilang dari rumahnya.  Rumahnya jadi terasa kosong. Padahal Ten sering meninggalkannya di rumah sendirian. Padahal Ten hanya pindah ke apartemen di lantai atas, tapi rasa kehilangannya tetap saja terasa.

Untungnya, bersamaan dengan datangnya rasa sepi itu, seseorang datang menekan bel pintu rumah Lisa. Jam sudah pukul sepuluh malam sekarang, dan rasanya Lisa tahu siapa yang mengunjunginya semalam ini– Jiyong.

"Oppa!" seru Lisa begitu Jiyong berdiri di depan pintu apartemennya dengan sebuah kanvas di tangannya.

"Wah... Kau terlihat lelah sayang," komentar Jiyong yang perlahan melangkah masuk dengan Lisa di belakangnya. "Oh? Kemana semua mainan Ten? Kemana bocah itu?" tanya Jiyong setelah ia masuk dan melihat beberapa barang Ten menghilang, termasuk kosongnya kamar yang sebelumnya dipakai Ten. Pintu kamar itu terbuka sekarang, dan hanya ada ranjang serta perabotan biasa lainnya, tanpa barang-barang milik Ten lainnya.

"Ten pindah hari ini, bukankah aku sudah bilang pagi tadi?" tanya Lisa sembari memperhatikan kanvas hitam yang Jiyong bawa. "Apa itu? Oppa akan melukis disini?"

"Ah iya, aku lupa, maaf," balas Jiyong. "Aku sedikit lebih sibuk dari biasanya hari ini, ada banyak sekali pekerjaan di kantor dan di rumah, maaf sayang," tutur Jiyong sebelum ia memberitahu kalau kanvas yang ia bawa adalah hadiah untuk Lisa.

"Kenapa hitam?" tanya Lisa, ia senang mendapatkan hadiah dari Jiyong tapi disaat yang sama ia merasa sedih karena Jiyong tidak mengingat ucapannya hari ini. Sedikit berlebihan memang, Lisa menyadari itu, karenanya ia menelan dalam-dalam rasa sedihnya.

Jiyong meletakan lukisannya di lantai, menyandarkannya pada dinding kemudian memberikan sebuah pisau lukis yang ia ambil dari saku jaketnya pada Lisa. "Tulis namamu disana, hilangkan bagian hitamnya saja,"

"Ahh... Oppa menyembunyikan warna lain di belakang warna hitam ini?" tanya Lisa dan dengan hati bahagia gadis itu mengambil pisau lukisnya. Sedikit demi sedikit Lisa menyingkirkan warna hitam dalam kanvas itu sampai kemudian ia menemukan gambar senyumannya sendiri. Bibir itu melengkung membuat sebuah senyuman cantik dengan berbagai warna merah, kuning, ungu, hijau, biru dan merah muda.

"Itu bagian paling sempurna dalam dirimu," gumam Jiyong yang kemudian memeluk Lisa dari belakang punggungnya. "Kau sudah luar biasa cantik, tapi senyumanmu yang terbaik,"

"Aku suka," balas Lisa yang kemudian mencium lembut pipi Jiyong, sebuah kecupan kecil yang manis. "Bagaimana caramu membuatnya? Hebat sekali oppaku,"

"Aku membuatnya sembari memikirkanmu, aku tidak menduga hasilnya akan seperti ini, aku tidak menduga kalau aku bisa memberikan ini padamu," jawab Jiyong masih memeluk Lisa sembari membandingkan sendiri senyuman dalam lukisannya dengan senyuman asli kekasihnya. Jiyong mencintainya, Jiyong sangat mencintainya sampai ia mabuk karenanya.

***
Penikmat Happy Ending silahkan berhenti disini :)

WetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang