✦ NINE ✦

908 177 7
                                    

Akashi terkejut mendengar teriakan dengan nada benci itu keluar dari mulut (Name). Dan lagi, (Name) tidak memanggilnya dengan namanya. Akashi mendekati (Name) lalu pandangannya kembali mendingin sama seperti yang dia tunjukkan pada saat melihat foto palsu itu.

"Kau tahu apa yang kau perbuat berada di sini, hah?" ucap (Name) lalu turun dari sepedanya dan raut wajahnya bisa dilihat jelas oleh Akashi. Kecewa, benci.

"Apa maksudmu? Aku hanya ingin memastikan sesuatu," jawab Akashi menatap ke bawah (Name).

(Name) mendecakkan lidahnya lalu menarik lengan Akashi dan membawanya agak jauh dari rumahnya. Akashi yang tidak terima ditarik seperti itu menghentikan langkahnya lalu kedua tangannya memegang bahu (Name).

"Ada apa denganmu? Kenapa kau marah?" tanya Akashi sambil menatap lurus pada mata (Name).

"Kau hanya membawa masalah kemari! Pergilah, aku tidak mau melihatmu lagi."

"Kenapa (Name)? Aku berbuat salah padamu?"

"Kesalahan pertamamu adalah datang kemari, kesalahan keduamu, tidak mendengarkanku saat kusuruh pergi! Tidak sadarkah dirimu kalau aku hanya memanfaatkan keberadaanmu untuk lari dari masalah?!" teriak (Name) dengan mata memerah.

Akashi benar-benar dibuat bungkam dengan perkataan (Name). Akashi mencoba melihat ke matanya jika (Name) hanya bercanda tetapi yang dia dapat adalah tatapan amarah yang ditujukan padanya.

Apa dia berbuat sesuatu yang salah? Dia tidak mengerti kenapa (Name) tiba-tiba berkata seperti ini.

"Kau ingin aku pergi setelah kau mendapat masalah dan diskors dari sekolah? Dan kau juga mengabaikan telpon dan pesanku."

(Name) memalingkan pandangannya membiarkan topinya menutup sebagian wajahnya. Giginya menggerutu karena dia ingin sekali berteriak padanya untuk pergi. Dengan kasar, (Name) melepaskan tangan Akashi yang ada di bahunya lalu melepaskan topinya dan membawanya ke dadanya.

Saat air mata (Name) terlihat oleh iris dwi warna Akashi, membuat dalam diri Akashi panik. Dia melihat (Name) begitu rapuh apalagi (Name) yang seperti menahan suara isakannya sehingga nafasnya tidak beraturan.

"Orang sepertimu tidak akan mengerti, jadi pergilah. Aku yakin kau tidak ingin menemui diriku. Ohara-chan dan Kuro-chan pasti yang memaksamu 'kan?" ucap (Name) dengan suara serak, kepalanya menunduk tidak ingin melihat ekspresi apa yang dipasang Akashi.

"Aku tidak butuh orang lain untuk membawaku ke jalan yang seharusnya. Dari dulu aku memang gadis yang tidak baik," keluar tawa lemah dari mulut (Name).

Akashi mendekati figur (Name) perlahan dan sepatu mereka saling bertemu. (Name) tidak bergerak sama sekali, masih memandang ke bawah. Akashi masih tidak mengerti kenapa (Name) berkata demikian, atau soal dirinya yang mengakui hanya mempermainkan Akashi sebagai tempat pelarian dari masalahnya.

Apa mungkin, apa yang Akashi lihat dari (Name) ternyata hanya senyum yang dijahit dengan kesedihan?

Apakah selama hilang kontaknya ini, (Name) menghindari Akashi karena dia sudah selesai mempermainkan Akashi?

Akashi tidak pernah merasakan dipermainkan oleh (Name).

Dia tidak pernah.

Ragu dengan aksinya, Akashi memeluk bahu (Name) dan membiarkan gadis malang ini menangis pada dadanya. Dia tidak peduli dengan seragam sekolahnya yang basah karena tangisan yang dikeluarkan (Name).

"K-kenapa?" tanya (Name). "Kenapa kau masih di sini? Aku bilang pergi!" suara (Name) meninggi lalu mencoba mendorong badan Akashi.

"(Name)," kali ini pertama kalinya Akashi memanggil (Name) dengan namanya dan entah kenapa rasanya nyaman. "Kenapa aku harus pergi saat kau sedang membutuhkan seseorang untuk bersandar?"

𝐃𝐞𝐥𝐢𝐧𝐪𝐮𝐞𝐧𝐭 | A. SEIJUUROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang