✦ TWELVE ✦

776 143 2
                                    

Kedua mata (Name) perlahan membuka dan menyesesuaikan cahaya yang masuk. Dengan kesadaran yang belum terkumpul, dia duduk di atas ranjang lalu menguap dan melonggarkan otot-ototnya yang kaku karena tidur.

(Name) melihat ke jam dinding dan menunjukkan pukul setengah tujuh, (Name) harus segera bersiap sebelum pergi bekerja di cafe Mirai.

Seusai mempersiapkan diri dengan seragamnya dan tas yang berisi baju ganti nanti, dia terkejut saat melihat ayahnya yang duduk di atas tatami. Memegang surat yang tidak ingin (Name) ditemukan oleh ayahnya.

"Otou-san.."

"(Name) kenapa tidak bilang dari dulu?" ucap ayah (Name), suaranya serak dan terlihat kantung hitam di bawah matanya. (Name) baru sadar, keriput di wajah ayahnya bertambah.

"Aku tidak ingin, otou-san tahu," jawab (Name) pelan lalu duduk di samping ayahnya, tangan mengerat pada tasnya.

Ayah (Name) menatap putri tunggalnya dengan tatapan sedih bercampur kecewa, "kau tahu 'kan, tidak perlu menyembunyikan semua rahasia dari otou-san."

"Otou-san sudah cukup banyak menanggung beban, aku tidak ingin menambahnya."

"Itu sudah menjadi tugas otou-san. Dan.. kenapa kau bekerja, (Name)? Bukannya, otou-san sudah melarangmu?" Kali ini, ayah (Name) sedikit meninggikan mada bicaranya, menandakan dia serius.

(Name) tidak tahu darimana ayahnya bisa mengetahui soal kerja paruh waktunya. Memang benar, ayahnya melarang untuk bekerja karena dirinya masih mampu untuk membiayai kehidupan mereka. Tapi, tetap saja (Name) tidak bisa membiarkan ayahnya berkeringat sendiri untuk mendapatkan uang.

"Otou-san, aku ing―"

"Cukup, (Name)!" ayah (Name) menghempaskan surat yang dia pegang ke atas meja. "Otou-san melakukan itu semua untuk kebaikanmu. Nikmati sekolahmu dengan hasil otou-san, jangan pikirkan soal biaya. Otou-san, tidak akan membiarkanmu pergi kemana-mana hari ini."

(Name) tidak pernah melihat ayahnya semarah ini sebelumnya. Kedua mata (Name) memanas dan tubuhnya bergetar takut. Ayah (Name) berdiri dari tempatnya lalu mengambil tas kecilnya dan keluar dari rumah, tidak lupa dia juga mengunci pintu.

(Name) berlari ke arah kamarnya dan melempar tasnya ke sembarang tempat dan dia menangis di atas ranjang dinginnya. Suaranya tertahan karena bantalnya menekan wajahnya.

Apa semua keputusan yang dia ambil ini salah? Padahal, (Name) kira semua akan baik-baik saja. Dia kira bisa membanggakan ayahnya dengan kerja kerasnya selama bekerja paruh waktunya dan prestasinya di sekolah. Tetapi, humor tak enak terdengar itu menulikan telinga ayahnya yang membuat semua hal kebaikan yang dia lakukan tidak sampai pada satu-satunya keluarga yang dia cintai.

Dunia begitu kejam pada dirinya.

🍒

Akashi kembali mengecek setiap ruangan yang akan digunakan untuk festival olahraga mendatang. Memastikan semuanya sempurna dan sesuai rencana. Waktu makan siang tiba dan Akashi memutuskan makan sesuatu untuk mengisi perutnya. Memilih roti isi dan manik dwi warna Akashi melihat mesin minuman otomatis, dia berjalan mendekatinya.

Memilih minuman yang akan dia ambil, satu minuman menarik perhatiannya, kaleng berwarna merah serta putih, bergambar cherry membuat dirinya mengingatkan pada permen yang diberikan (Name).

Akashi menghela nafas lalu memasukkan koin dan memilih kaleng tersebut. Mengambilnya yang membuat tangannya bersentuhan dengan kaleng dingin nan sejuk itu di musim panas ini.

Pikirannya kembali mengingat pembicaraan dengan (Name) saat malam kemarin. Dia agak kecewa, (Name) menutup sambungan telponnya sebelum menanyakan perihal pernyataan (Name) tempo hari. Apa dia melakukan langkah yang salah untuk bertanya? Ah, tidak mungkin. Akashi tidak salah.

Memakan pelan roti isi itu, dia melihat ke atas langit yang begitu biru bersih tanpa awan. Akashi bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang (Name) pikirkan sekarang?

Hari semakin sore dan Akashi melihat sekali lagi ke aula untuk memastikan semuanya sempurna. Setelah itu, dia keluar dari sekolah dan masuk ke dalam mobil untuk pergi pulang. Akashi melihat kembali ke ponselnya, masih belum ada balasan dari (Name) yang membuatnya khawatir. Seharusnya setelah mendapatkan ponsel untuknya, Akashi akan mudah mengetahui keadaan (Name) tapi keadaan malah berbalik.

Dengan menghela nafas kasar, dia menyuruh supir untuk pergi ke alamat rumah (Name) dan sama artinya dia harus menaiki jalan menanjak untuk mencapai rumah (Name).

Akhirnya, dia sampai di depan rumah (Name). Akashi melepas jaket sekolahnya yang dia bawa di tangan kirinya dan meninggalkan tasnya di mobil, lalu ada minuman dingin serta makanan ringan lainnya yang dia beli saat perjalanannya kemari.

Keadaan rumah (Name) sangat sepi, bahkan sekitaran tetangganya juga sepi. Entah rumah yang dekat dengan (Name) itu kosong atau orang-orang disini suka dengan ketenangan.

Akashi mengetuk pintu rapuh itu dan menunggu jawaban dari dalam. Terdengar suara (Name) dari dalam lalu saat pintunya terbuka, Akashi melihat wajah (Name) yang memerah begitu pula iris (eye color)nya, rambutnya acak-acakan dan seragamnya juga. (Name) menunduk ke bawah seperti kehilangan kesadarannya.

"Kenapa denganmu, (Name)?" Akashi mengangkat dagu (Name) lalu menepuk kedua pipinya dengan tangannya.

"Huh? Akashi-kun? Aku bermimpi?"

Akashi menggelengkan kepalanya lalu memasukkan diri ke dalam kediaman (Name). Tanpa di sadari, (Name) memeluk Akashi, wajahnya bersembunyi pada dadanya. Akashi bingung dengan aksi (Name) yang tidak seperti biasanya.

"Aku tidak mengerti, kenapa semuanya hancur? Otou-san marah padaku, aku juga marah pada diriku sendiri karena aku sangat menyedihkan," ucap (Name) pelan.

Akashi langsung menyimpulkan, kalau ayahnya tahu mengenai diskors (Name). Satu tangan Akashi mengusap punggung (Name) lembut. "Ceritakan semuanya padaku, (Name)."

(Name) dan Akashi berakhir duduk di atas ranjang sempit (Name). Posisi mereka, (Name) yang masih sedih dan menunduk ke bawah dengan kaki menyilang dan Akashi yang menatap (Name) khawatir. Ini lebih parah saat dia datang kemari untuk pertama kalinya.

Keluar isakan dari (Name) lalu kedua tangannya menutup wajahnya. Tidak ingin dilihat sang emperor dalam keadaannya yang tidak pantas dipandang. Akashi menggeserkan tempat dia duduk untuk mendekati (Name).

"(Name), kau bisa ceritakan semuanya padaku."

(Name) menggelengkan kepalanya tanpa berkata.

"(Name), aku tidak bisa membantumu jika kau tidak memberitahuku."

Kali ini, Akashi memegang kedua tangan (Name) lalu pelan menurunkannya agar dia bisa melihat (Name). Hidung (Name) memerah dan matanya juga membengkak karena menangis. Bagaimanapun juga, (Name) seorang gadis remaja yang merasakan emosional tinggi. Akashi tahu kalau sisi penggoda (Name) itu hanya menutupi kesedihannya.

"Aku tidak berguna, Akashi-kun. J-jangan melihatku," jawab (Name) dengan suara serak.

"Siapa yang bilang begitu?"

"Aku sendiri."

Akashi melingkarkan tangannya dibahu (Name) membawanya mendengkap ke dalam pelukannya. Lalu, bibirnya yang ada di samping telinga berbisik lembut.

"Kau berguna untukku, sekarang ceritakan semua kesedihanmu padaku. Aku tidak mau kau sendirian seperti ini."

(Name) memegang erat pada kemeja putih yang Akashi pakai lalu kembali menangis di bahunya. (Name) merasa nyaman dan tenang saat Akashi memeluknya. Atau, dia sudah lama sekali tidak dipeluk hingga lupa akan kenyamanannya ini.

Keduanya terdiam sesaat merasakan kehangatan masing-masing lewat pelukan peduli yang dibagi bersama itu.

« • ❁ • »

つづく

« • ❁ • »







































𝐃𝐞𝐥𝐢𝐧𝐪𝐮𝐞𝐧𝐭 | A. SEIJUUROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang