Bagian 3

14.3K 1K 28
                                    

“Dari tadi wajah kamu ditekuk aja, bibirnya juga manyun-manyun begitu. Kamu kenapa sih Rill? Lagi kesal atau marah sama aku? Atau apa gara-gara pagi ini pergi ke kampusnya gak naik bejo?”

Sejak menyelesaikan kuliah di jam pertama tadi, aku dan Ameera duduk di kantin fakultas. Belum ada niat untuk pulang kerumah karena jadwal kuliahku setelah ini, tepatnya saat jam ketiga masih ada.

Aku diam saja dan belum merespon ucapan Ameera yang kini duduk didepanku sambil meminum jus jeruk miliknya. Ameera bertanya kepadaku tapi malah terkesan mengejekku. Namun itu memang sudah kebiasaan dia juga dari dulu.

“Gak usah nanya sama aku deh Ra, kalau ujung-ujung nya kamu juga akan ngeledek aku. Mood aku benar-benar lagi buruk nih. ”

Memang kekesalanku hari ini kembali disebabkan oleh bejo. Sepertinya ada masalah dengan motorku itu karena pagi tadi dia menolak untuk hidup. Sehingga aku terpaksa pergi ke kampus dengan mobil bersama Papi dari pada terlambat masuk kelas, sekalian Papi juga berangkat kekantor.

Jika kira-kita aku servis bejo ke bengkel, Papi mau memberi uang untuk membayar biayanya tidak ya? Secara biaya perawatan bejo tidaklah sedikit. Kalau aku yang mengeluarkan uang, maka uang simpananku untuk tour akan berkurang.

Tapi jika aku tidak memperbaiki bejo, sudah pasti aku tidak akan bisa mengendarai motor sendiri saat tour. Padahal aku sangat menantikan tour dengan membawa bejo. Ini seperti makan buah simalakama sekali, membuatku bingung.

Ameera tertawa ketika aku berkata seperti itu. Sahabatku ini memang ajaib, yang tidak lucu dia tertawa, tapi saat orang sedang tertawa karena lucu dia malah bingung. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, Ameera juga tidak peka sama sekali.

Tapi kalau dia marah, Ameera paling bisa membuat orang merasa bersalah kepadanya.

Aku dan Ameera sudah mengenal lama, sejak kami duduk di bangku kelas sepuluh di sekolah menengah atas. Awal perkenalan bermula ketika kami menjadi teman sebangku saat masa orientasi sekolah.

Saat itu adalah momen yang sedikit menggelikan ketika diingat-ingat lagi.

Aku Rilleya! Aku duduk disini ya?”

Tanpa mendengar jawaban murid perempuan yang duduk sendirian di bangku bagian tengah, aku langsung mendudukkan badanku disebelahnya. Berhubung kursi kosong hanya tinggal yang bagian depan, aku lebih memilih duduk disini.

Padahal duduk di bagian belakang lebih mengasyikkan.

“Silahkan duduk, Kak! Aku Ameera Kak,” jawab murid perempuan yang sudah resmi menjadi teman satu bangkuku mulai saat ini.

Kakak? Apa baru saja dia memanggilku dengan sebutan Kakak? Apa aku terlihat lebih tua darinya?

Tapi kenapa bisa? Padahal sejak dulu, aku selalu jadi yang termuda di angkatanku saat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Apa wajahku cepat menua?

“Kak? Kenapa kamu memanggilku Kakak? Aku kelihatan tua sekali ya?” tanyaku bingung. Kalau memang aku adalah kakak kelas, jelas bukan disini tempatku.

Ameera mengernyitkan kening. “Kamu bukan Kakak kelas?”

Aku tertawa kesal, “Gak lah, aku murid baru juga, sama seperti kamu.”

“Terus, perlengkapan untuk orientasi milikmu mana?” tanya Ameera sambil melihat kearah tas ku yang aku letakkan diatas meja.

Tanganku mengambil sebuah topi kerucut yang terbuat dari kertas karton, milik Ameera yang terletak diatas mejanya. Aku mencoba memasangnya keatas kepalaku. Hanya sebentar karena setelahnya aku melepaskannya sambil mengernyitkan kening tidak suka.

It was You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang