Bagian 19

8.5K 916 9
                                    

"Sayang, kamu yakin tidak mau coba ayam ini?"

Aku hanya menghela nafas lelah. Dipanggil sayang tanpa status begini membuatku kesal. Padahal tadi pagi, ketika dia bertanya aku langsung menolaknya. Aku bahkan sudah menegurnya saat memanggilku begitu, tapi sepertinya tidak mempan.

Hatiku ini perlu aku jaga. Kalau cuma dibuat baper, tentu aku tidak menginginkannya.

"Kamu habiskan aja deh, saya sudah kenyang."

Ini pengalaman pertamaku menaiki motor untuk perjalanan jauh. Rasanya menyenangkan juga, sebab aku bisa bebas melihat pemandangan dan merasakan angin yang berhembus.

Tapi aku tidak menyangka, ternyata duduk berjam-jam di atas motor melelahkan juga. Dan bahkan beberapa kali kami sempat berhenti untuk beristirahat sejenak.

Saat ini aku baru saja menghabiskan makananku. Memang tak jauh lagi jarak yang akan kami tempuh untuk sampai kerumah Nenek. Hanya saja perut terasa sangat lapar dan tidak bisa ditahan lagi.

Aku kasihan juga dengan Rafa yang mengendarai motor sejak pagi tadi. Dia juga menolak ketika aku meminta agar kami bergantian membawa motor.

"Oh iya, saya pengen tanya ini dari tadi, tapi lupa terus," ucapku ketika Rafa sudah menghabiskan minumannya. "Kenapa bisa kamu ikut ke kampung keluarga saya? Memangnya kita berasal dari satu kampung yang sama ya?"

Rafa mengusap bibirnya dengan tisu. Membuatku sempat melirik benda kenyal itu dengan gugup. Bibirnya itu lah yang sempat mengecup bibirku tadi pagi.

Seandainya tadi aku tidak menjauh, mungkinkah kami akan. . . Aku menggelengkan kepala segera, sebelum pikiran yang tidak-tidak hadir didalam kepalaku.

"Bisa dibilang, kita berasal dari kampung halaman yang sama."

Pantas saja kalau begitu. Mungkin Papi dan Mami juga mengenal keluarga Rafa. Jadi aku tidak akan heran lagi melihat kedekatan mereka.

Ponsel yang ada di tas kecilku berbunyi, membuatku segera mengambilnya. Bang Satria lah yang ternyata menghubungiku.

"Kenapa Bang?" tanyaku setelah menempelkan ponsel ke telingaku.

"Keras kan suaranya," pinta Rafa sambil menunjuk ponselku.

Awalnya ingin menolak karena siapa tau Bang Satria ingin berbagi rahasia. Tapi akhirnya aku tetap melakukannya.

"Abang mau minta tolong, kalau Nenek tanya tentang pacar Abang, kamu bilang aja pernah ketemu ya Rill."

Aku tersenyum miring, lebih tepatnya menyeringai. "Abang meminta aku bohong sama Nenek nih?"

"Kamu mau apa? Abang akan kasih. Tapi tetap mintanya sesuatu yang wajar."

Tawaran yang sangat menarik. Aku tersenyum senang. "Setuju! Aku akan minta lain kali. Apa aja yang harus aku bilang sama Nenek?"

Bang Satria menghela nafas lega. "Bilang pada Nenek kalau Abang punya pacar. Terserah kamu mau menggambarkan bagaimana orangnya. Pokoknya minta Nenek untuk gak usah mengenalkan Abang dengan gadis manapun."

"Siap, laksanakan bos! Abang beneran gak mau nyusul kesini nih?"

"Gak Rill, kerjaan Abang lagi banyak nih."

Aku mengerucutkan bibir. "Abang jaga kesehatan. Aku gak mau Abang masuk rumah sakit lagi."

Terdengar suara tawa Bang Satria. "Iya, iya. Kalian udah sampai belum?"

Aku menggeleng percuma. "Belum Bang, ini lagi mampir dulu. Laper Bang,"

"Ya udah, kalau begitu Abang tutup dulu. Bilang sama Rafa, bawa motornya hati-hati."

It was You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang