Bagian 18

8.8K 922 26
                                    

Liburan kali ini, Mami dan Papi rupanya sudah berencana untuk menjenguk Nenek di kampung. Rencana liburan yang aku dengar secara tiba-tiba ini merusak rencana yang sudah aku siapkan terlebih dulu.

Setelah sekian lama akhirnya aku akan menginjakkan kakiku lagi ke kampung halaman setelah Nenek memutuskan untuk tinggal disana kembali.

Terakhir kali aku kesana adalah saat aku masih kecil, sebelum Kakek meninggal dunia dan Nenek memutuskan pindah untuk tinggal bersama dengan Tante Alinda.

Aku awalnya menolak untuk ikut dengan Papi dan Mami. Bukan karena aku tidak merindukan Nenekku atau tidak mau menginjakkan kaki ke kampung lagi.

Tapi aku sudah berencana untuk ikut tour bersama teman-teman kampusku yang seharusnya berangkat sehari sebelum jadwal ke kampung. Rencananya ada beberapa kota yang akan kami tuju.

Namun, tentu saja Papi tidak memberiku ijin untuk ikut tour. Padahal aku hanya menjadi penumpang saja, sebab tidak ada bejo lagi yang bisa aku bawa.

Aku juga sudah meminta ketua angkatanku agar dia bisa memboncengi ku selama tour. Tentu saja dengan syarat, aku yang akan membayarkan bensinnya. Kami bahkan sudah sepakat.

"Itu rambut kamu kenapa diwarnai lagi sih? Padahal baru beberapa hari ini kembali ke warna asli," teriak Mami ketika aku keluar dari kamar.

Rambut hitam ku sudah aku warnai lagi. Kali ini hitam dicampur dengan merah. Memang bukan warna merah yang dominan, tapi tetap saja terlihat jelas.

"Terlihat cantik kan, Mi?" tanyaku sambil mengibaskan rambut dengan tangan kiri. Merasa percaya diri dengan penampilanku. Apapun warna rambutku, aku tetap terlihat menarik.

"Jelek ah, Mami gak suka," ucap Mami. Aku hanya mengangkat bahu karena bukan pertama kalinya Mami berkomentar seperti itu. Lagi pula rambut ini sudah aku warnai juga.

Aku menarik koper berukuran menengah itu dengan malas. Wajahku jelas menunjukkan ketidaksukaan. Padahal libur cukup lama, kenapa pergi ke tempat Nenek harus sekarang?

“Gak usah cemberut begitu. Nanti nenek mikirnya kamu gak senang ketemu dengannya,” tegur Mami dari belakang sambil mencubit pipiku.

Kalau Papi kebiasaan menyentil ku, Mami beda cerita. Mami sering kali mencubit ku, entah itu di pipi, lengan, paha atau pinggang. Cubitannya terkadang mampu membuatku berteriak kesakitan.

“Cemberut nya sekarang dulu Mi. Nanti setelah sampai dirumah Nenek, Lea akan tersenyum lebar-lebar. Sampai-sampai Nenek mikir cucunya sudah gak waras lagi.”

Baru selesai bicara, tiba-tiba Papi langsung menyentil keningku. Aku tidak sadar kapan Papi sudah berada dihalaman rumah juga.

“Kamu ini, diajari orang tua malah ngeyel," ucap Papi sambil memberiku helm yang biasa aku pakai ketika mengendarai bejo.

Aku mengambil helm yang diberikan Papi dengan bingung. Untuk apa Papi memberikan helm padaku?

“Kalau pakai mobil gak perlu helm Pi. Yang perlu itu SIM, STNK dan juga duit untuk beli bensin,” kataku sambil memainkan jari tangan, sembari menyebutkan satu persatu. Helm sengaja aku jepit kan ke ketiak ku.

“Kalau itu Papi tau. Helm itu buat kamu,” ucap Papi santai.

“Papi beneran mau buat Lea kelihatan gak waras?” tanyaku tak percaya.

Kami akan berangkat dengan menaiki mobil. Bukan aku juga yang akan mengendarainya. Tapi Papi malah memberikan helm padaku. Siapa yang tidak bingung coba?

“Bukan! Kamu pergi naik motor . . .”

Belum selesai Papi bicara aku memotong ucapannya. “Papi beliin motor baru untuk Lea?” tanyaku dengan senang.

It was You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang