05.

978 152 19
                                    

Getar ponsel di nakas menyadarkan Anindya dari tidurnya.

Dengan setengah kesadaran yang baru terkumpul, Anindya meraih ponsel di nakas, masih jam setengah enam kurang.

Setelah tadi bangun untuk subuh, ia kembali tertidur sebentar. Disampingnya, Sandhi masih terlelap, dengan memeluk bantal dan setengah tengkurap. Masih jauh dari kata sadar.

Berusaha mengumpulkan kesadaran, Anindya duduk sambil membaca notifikasi yang muncul di ponselnya.

[Nina sent picture]

Sebuah foto yang menunjukan tempat yang dikenali Anindya sebagai boarding area Bandara Adisutjipto, dilengkapi dengan caption ‘meet up skuy’. Kesadaran Anindya mendadak pulih, dengan segera membalas chat selagi Nina masih online.

Nina mengabarkan pagi itu ia akan melakukan interview di instansi yang sudah lama ia idamkan. Setelahnya ia akan kosong sepanjang hari sebelum kembali ke Jogja dengan pesawat terakhir.

‘I’m all yours today.’ Anindya terkekeh ketika mengirimkan pesan terakhir, sebelum Nina menutup percakapan dengan mengabarkan ia akan segera boarding.

.

.

.

‘Nanti siang aku keluar ya? Nina ke Jakarta.’ Tutur Anindya sambil memperhatikan Sandhi yang merapikan rambutnya di depan cermin.

‘Nina temen kost kamu itu?’ Tanya Sandhi dari pantulan cermin pada Anindya yang duduk di ujung kasur.

Anindya memberikan anggukan sebagai jawaban. ‘Dia ada interview gitu, ga tau sih kelarnya jam berapa. Tapi udah janji mau meet up bentar. Soalnya dia langsung balik.’ Jelas Anindya, agar Sandhi tidak bertanya-tanya.

‘Mau bawa mobil?’

‘Eh? Ga usah. Ntar kami naik taksi aja, gampang.’ Tolak Anindya, sedikit terkejut dengan tawaran Sandhi.

‘Bawa aja gapapa, biar gampang kalo kalian kemana-mana.’ Jawab Sandhi santai, meraih ransel kerjanya, mengeluarkan kunci mobil dan meletakkannya di rak di samping cermin.

‘Trus kamunya gimana?’ Tanya Anindya, tidak enak hati karena Sandhi terlalu baik padanya.

‘Naik ojek aja, santai. Lagian dia kan dulu sering minjemin kamu motor tiap aku kesana.’ Tambah Sandhi, karena istrinya masih memasang wajah keberatan.

Sebelum menikah, Sandhi kerap kali ke Jogja untuk menghabiskan waktu akhir pekan bersama Anindya. Sandhi cukup berterima kasih karena Nina yang selalu berbaik hati meminjamkan motor maticnya untuk dipakai.

‘Seriusan gapapa?’ Anindya menengadah, karena posisinya yang duduk sementara Sandhi berdiri didepannya.

Sandhi menahan senyum. Anindya yang pagi itu belum mandi karna sebelumnya sibuk menyiapkan sarapan untuknya, masih dengan piyama dan rambut yang berantakan, ditambah dengan mata yang membulat sambil menggigit bibir, entah kenapa tampak menggemaskan sekaligus mempesona bagi Sandhi.

‘Serius ... Gapapa.’ Sandhi tidak bisa menahan diri untuk mengusap puncak kepala istrinya.

Sandhi tidak melewatkan rona merah yang muncul pada pipi Anindya karena perbuatannya. Hanya karena sentuhan sederhana seperti ini Anindya tampak malu, padahal mereka sudah menikah. Dan Sandhi ingin tetap selalu seperti itu. Selalu ada perasaan hangat yang membanjiri hati keduanya setiap mereka berdua berdekatan.

‘Aku pergi kerja dulu ya.’ Anindya menahan nafas ketika Sandhi mengecup puncak kepalanya.

Anindya mengangguk.

severely.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang