‘Loh, Yaya di Bandung?’
Anindya mengalihkan pandangannya yang tadi fokus pada gelas yang ia tempelkan ke keran dispenser pada sosok dua perempuan paruh baya yang sedang memotong sesuatu di dapur.
‘Loh? Tante Rosa di Indo? Kapan dateng Tan?’ Anindya menyalimi sosok yang ia panggil dengan sebutan Tante lalu bergabung untuk duduk lesehan mengelilingi piring berisi buah yang sudah dipotong kecil.
Bunda sedang memotong kiwi, sementara Tante Rosa memotong stroberi. Kalo ga bikin salad buah, kayaknya bakal bikin es buah nih.
‘Udah semingguan Tante disini, baru ini liat kamu. Padahal hampir tiap hari Tante main kesini.’ Ujar Tante Rosa tanpa mengalihkan pandangannya. Sementara Anindya hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir.
‘Yaya mah kalo balik ke rumah kerjaanya molor mulu. Kadang aku ga sadar kalo dia di rumah.’ Omel Bunda.
‘Ya sekali kali Bun.’ Jawab Anindya, mengulurkan tangannya untuk mencuri potongan stoberi dari piring yang ditahan Bunda dengan sigap dan menyuruh anak tengahnya itu untuk mencuci tangan terlebih dahulu.
‘Kamu kalo rebahan mulu kayak gini, kapan mau dapet jodohnya Ya.’
Lagi. Pembahasan soal jodoh kembali naik ke permukaan. Bukan sekali dua kali Anindya dituntut soal ini. Dia sudah biasa. Setiap keluarga besarnya berkumpul, Anindya hampir selalu jadi salah satunya dari sekian banyak topik hangat. Padahal jelas jelas sudah ada grup WA, tapi setiap keluarga besar berkumpul, ada saja bahasan yang bisa dibahas.
Bertahun di posisi tersebut, Anindya sudah terlatih untuk menghadapinya. Ia sadar, keluarganya punya tujuan baik baginya, tapi tetap saja itu bukan hal yang mudah baginya. Anindya bukannya tidak mau, tapi memang belum saja.
‘Ya sedapetnya lah Bun.’
‘Kamu tuh jawabnya selalu gitu.’
‘Tapi kan nikah bukan balapan sih Bun. Bukan soal cepat, tapi tepat.’ Kilah gadis itu, menggunakan ungkapan yang sering ia lontarkan ketika ditanya kapan ia akan wisuda dulu.
‘Meski bukan balapan kan butuh usaha.’
Perdebatan kali ini akan jadi perdebatan alot dan panjang jika tidak segera diselesaikan.
‘Tan.’ Anindya mengalihkan pandangan pada Tante Rosa yang sejak tadi sudah selesai memotong buah dan sekarang sedang mengaduk buah tersebut dengan krim. ‘Tante ada kenal temen Bagas ga? Kenalin dong. Siapa tau ternyata jodoh aku selama ini dikekepin Bagas.’ Anindya nyengir lebar. Ia melontarkan ide pertama yang terbesit di kepalanya.
‘Ga mau sama Bagas aja?’ Jawab Tante Rosa setengah berbisik seakan sedang membicarakan hal rahasia. Padahal jelas Bunda dapat mendengar mereka.
‘Ga mau. Anak Tante jarang mandi. Bisa sakit kepala permanen akunya.’ Jawab Anindya jujur, masih dengan berbisik dan mencondongkan wajahnya ke arah Tante Rosa.
Kenal Tante Rosa sejak kecil, Anindya sangat suka bercanda dengan sosok keibuan itu. Meski lebih sering di luar negeri, tapi Tante Rosa tetap dekat dengan orang komplek, termasuk Anindya, yang notabene jarang di rumah. Seperti saat ini, meski sudah lama tidak bersua, Anindya dapat bercanda seperti ini dengan entengnya.
‘Kamu mau yang gimana?’ Balas Tante Rosa.
‘Pepet aja teruuuuss.’ Tukas Bunda dari belakang yang baru saja mengangkat bolu dari panggangan. Tebakan Anindya salah, cemilan sore ini bukan salad ataupun es, tapi bolu dengan krim dan buah.
Anindya tertawa sekilas, lalu kembali menghadap Tante Rosa. ‘Tapi aku maunya banyak Tan. Mau yang cakep, tinggi, wangi, baik, sopan, ga neko-neko, oh iya yang paling penting mau sama aku sih.’

KAMU SEDANG MEMBACA
severely.
Romance'.. to know you, to love you severely' - Sandhi, lelaki kantoran yang masih suka ngeband di akhir pekan, dan sedang belajar untuk memahami Anindya. '.. to learn; from you, with you' - Anindya, mahasiswi magister, yang berusaha mengikuti segala kebai...