08.

1.2K 127 18
                                    

Sandhi berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sudah rapi sebelum keluar kamar untuk sarapan pagi.

Jika biasanya Anindya akan menunggunya di meja makan, pagi ini istrinya sibuk dengan ponselnya di samping jendela, berbicara dengan orang lain di sambungan telepon.

‘Iya ... Iya Bun iya. Yaya ngerti kok. Udah Bun, Yaya harus siapin sarapan buat Sandhi.’

Sandhi yang sedari tadi berdiri di ambang pintu memperhatikan sosok di samping jendela kaca itu sedikit kaget ketika Anindya berjalan menghampirinya.

‘Bunda ngomong sama Sandhi aja ya, Yaya mau kelarin bikin sarapan dulu.’ Ujar Anindya, terdengar jelas ia tak ingin berbicara lebih lama, lalu memberikan ponselnya pada Sandhi.

Sandhi mengambil posisi untuk duduk di sofa dengan tivi saat Anindya melanjutkan kesibukannya di dapur.

‘Ya Bun?’ Sapa Sandhi.

‘Yaya tuh kenapa sih? Kalian berantem?’ Belum apa-apa Bunda sudah menodong Sandhi dengan pertanyaan.

‘Ngga kok Bun. Kenapa Bun?’

‘Yaya tuh udah Bunda chat ga dibales, ditelfon juga hampir ga pernah diangkat. Bunda kepikiran loh ...’ Bunda menyampaikan segala keluh kesahnya tentang kehawatirannya tentang putrinya itu.

Tidak ada yang bisa Sandhi lakukan selain menjawab dengan ‘hmm’ ‘Iya Bun’ dan ‘gapapa Bun’, bermain aman dengan semua jawabannya. Tidak mau memberi jawaban yang dapat mengkhawatirkan Bunda ataupun menyakiti Anindya dengan perkataannya.

‘Bun, maaf banget, tapi Sandhi mau berangkat kerja.’ Tutur Sandhi jujur, jika Bunda sudah mulai bicara maka tidak akan selesai semudah itu. Bunda mengalah, dan memberikan beberapa wejangan sebelum akhirnya memutuskan sambungan telfon.

Sandhi berpindah dari sofa, meletakan ponsel di meja makan sambil menarik kursi untuk duduk. Anindya menyajikan nasi goreng untuk pagi ini.

Jika diingat-ingat, sejak Anindya disini Sandhi tidak pernah sarapan di kantor lagi.

‘Tadi Bunda nanyain ...’ Ujar Sandhi, berhati-hati pada tiap kalimatnya. ‘Kamu kenapa ga bales chat. Bunda khawatir soalnya.’

‘Bunda nyebelin sih. Kalo ngechat bikin pusing terus.’ Keluh Anindya. Sejak ke Jakarta, Bunda beberapa kali mengirimkan pesan yang membuatnya malas untuk membalas.

‘Nyebelin gimana?’

Sejenak Anindya diam. Menimbang haruskah ia menyampaikan hal ini pada Sandhi. Perihal Bunda yang terlalu bersemangat menanyakan kondisinya yang sudah ‘isi’ atau belum.

Gimana mau isi kalo dicoba aja belum.

‘Nanti juga kamu tau.’ Balas Anindya singkat.

‘Jutek banget. Istri siapa sih.’ Kekeh Sandhi.

Anindya hanya mendengus, namun di dalam hatinya menghangat setiap Sandhi menyebutnya dengan 'istri'.

Sandhi jarang menyebutkan kalimat kalimat manis ataupun romantis, lebih suka menunjukannya dengan sikapnya.

‘Nanti siang jadi ke Bagas?’ Tanya Sandhi ketika sudah di ambang pintu, sudah siap untuk berangkat ke kantor. Kembali jadi budak korporat.

Anindya sudah berjanji untuk meet up dengan Bagas sejak lama, namun belum juga kesampaian. Awalnya karena Anindya masih belum mau keluar, masih menikmati liburannya di rumah. Namun belakangan Bagas sepertinya semakin sibuk. Sempat bertemu di rumah Wahyu waktu itu, namun belum banyak bercerita. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk bertemu hari ini.

severely.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang