02. With You

1.4K 152 44
                                    

Anindya bukan termasuk pada kategori orang yang mudah terganggu dan terbangun dari tidur, namun bukan pula orang yang tidur terlalu lelap hingga seperti orang mati. Dia moderat. Di tengah-tengah. Biasa biasa saja.

Namun sebuah guncangan di bahu ketika dia sedang terlelap bukanlah hal yang ia bisa hindari.

‘Nin, subuh dulu.’

Kesadarannya mulai kembali. Kali ini dia dapat mendengar sebuah suara yang amat familiar dibarengi dengan guncangan lainnya. Membuatnya tersadar.

Sandhi.

Ketika membuka mata, yang ia dapati adalah Sandhi yang duduk di pinggir kasur, dengan rambut  yang setengah basah, dan sajadah yang sudah tergelar di lantai kamar mereka.

‘Subuh dulu, nanti tidur lagi.’ Ulang Sandhi.

Mengerjap beberapa kali, berusaha mencuri waktu untuk mengumpulkan kesadarannya. Anin menguap. Sebelum akhirnya bangun dengan malas. Membawa langkahnya yang melayang ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Satu kemajuan besar dalam hidup Anin sejak ia menjadi istri sah dari Sandhi, adalah ia nyaris tidak pernah melewatkan shalat..

Sebelumnya? Anin tetap sholat, meski kadang terlewat karena ia tertidur, sibuk mengerjakan tugas, atau hanya karena sedang malas. Dibesarkan di keluarga yang cukup agamis membentuk suatu kebiasaan untuk tidak pernah melewatkan sholat. Tapi berada di tanah perantauan selamat bertahun-tahun adalah hal yang berbeda.

Benar kata orang, lingkungan dapat mempengaruhi seseorang.

Dan berada di sekitar Sandhi merupakan pengaruh positif, meski kadang terasa sedikit memaksa. Apalagi ketika ia sedang bersama Sandhi seperti ini. Sandhi tidak akan bergeming sebelum memastikan Anindya bangkit untuk ikut sholat subuh bersamanya.

.
.
.

Sebuah bakat dari diri Sandhi yang membuat Anin iri setengah mati adalah; kemampuan Sandhi untuk tertidur dengan cepat. 

Setelah beberapa hari kembali ke Jakarta, Anin mulai menghafal pola Sandhi. Sandhi akan bangun ketika waktu subuh, setelahnya ia akan kembali naik ke kasur, memanfaatkan sedikit waktu yang tersisa dengan tidur kembali sebelum bersiap untuk pergi bekerja.

Sementara Anin? Air wudhu yang dingin itu sudah cukup sukses untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Ia tak pernah berhasil untuk langsung kembali tidur seperti Sandhi. Yang bisa ia lakukan hanyalah berbaring sambil memainkan ponsel. Atau sesekali ia mendapati dirinya menatap wajah Sandhi yang tertidur.

Seperti sekarang ini.

Sinting. Ganteng banget. Suami gue ganteng anjir.

Kurang lebih seperti itu umpatan yang menggema di kepala seorang Anindya ketika ia mengamati wajah Sanhi. Dengan kulit yang bersih, hidung mancung, ditambah ekspesinya yang tenang dengan mata terpejam, Anin mampu menghabiskan waktu hanya untuk menatap Sandhi tanpa bosan.

Anindya mengakui, bahwa Sandhi cukup tampan. Bahkan di atas rata-rata. Mungkin tidak seganteng Bagas yang gantengnya memang udah ga ketolong dari lahir. Tapi charisma yang menguar dari diri Sandhi benar-benar membuatnya terjerat.

Anindya bersyukur, saat ini Sandhi sedang terlelap. Jika tidak, dia tentu saja tak mampu berlama-lama menatap Sandhi seperti sekarang ini. Sandhi memiliki mata yang indah, sekaligus dalam. Tatapan mata intens milik Sandhi selalu sukses mebuat Anin salah tingkah. Bahkan sampai saat ini.

Kedua mata indah itu dibingkai oleh alis yang rapi, serta bulu mata yang panjang. Bagaimana bisa seorang lelaki yang tidak pernah mengenal mascara bisa punya bulu mata sepanjang dan sebagus itu? Anin kadang bertanya pada dirinya sendiri.

severely.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang