Hello, it's me~ with handful of fluff, fluffs, lot of fluff. Selamat membaca.
.
.
.
'Beneran ga mau ikut?'
Mungkin ini kali ke seratus Sandhi mengulang pertanyaan tersebut. Sejak pulang kantor Senin lalu, Sandhi mengabarkan bahwa ia akan melakukan perjalanan dinas ke Surabaya untuk beberapa hari, saat itu pula lelaki itu mulai menanyakan apakah Anindya mau ikut dengannya.
Tentu saja Anindya menolak. Untuk apa mengekor suami yang akan bekerja? Mengingat betapa padatnya jadwal Sandhi membuatnya ogah. Hanya dengan mengingat bagaimana Sandhi hampir tidak bisa meluangkan waktu setiap ia dinas ke Jogja saja cukup membuat Anindya membulatkan tekad. Ikut dengan Sandhi hanya akan mengurungnya di kamar hotel seharian hingga bosan.
'Engga mau ikut. Kamu cepetan turun deh, bentar lagi kita diklakson orang.' Kekeh Anindya karena Sandhi tidak mau turun dari mobil, mengingat mereka masih di drop-off area dan perdebatan ini sudah berlangsung beberapa menit. Sebenarnya bisa saja Anindya memarkir mobil dan mengantar Sandhi hingga pintu keberangkatan, namun itu hanya akan memberikan Sandhi kesempatan untuk mengulur waktu.
'Kamu beneran gapapa sendirian?'
Sejak menikah, Sandhi belum pernah meninggalkan Anindya sendirian di Jakarta, biasanya Anindya lah yang pergi keluar kota meninggalkannya. Meski sudah didukung dengan sagala teknologi, dimana Sandhi bisa menghubungi istrinya setiap saat, bisa saja terjadi sesuatu, bisa saja Anindya membutuhkan sesuatu ketika ia tak ada disana, dan itu membuat Sandhi khawatir. Sandhi tidak suka akan rasa khawatir yang menggerogotinya.
'Kalo kamu nanya sekali lagi, bisa-bisa beneran ketinggalan pesawat loh.' Tegas Anindya, namun masih dengan senyum di wajahnya. Bagaimana bisa ia menahan senyumnya, mungkin ini kali pertama kali baginya, melihat Sandhi yang seakan begitu manja dan tidak mau berjauhan darinya. Belakangan sikap Sandhi memang sangat manis padanya, hingga seringkali membuat Anindya kaget jika mengingat Sandhi yang dulu sangat pendiam.
'Iyaa iyaaa. Aku pergi dulu.' Sungut Sandhi melepas sabuk pengaman, lalu mendekatkan wajahnya pada Anindya yang masih diam memperhatikannya di belakang setir.
Kali ini Anindya tak bisa menahan agar kekehannya tidak terlalu jelas. Melihat sikap Sandhi yang seperti ini membuatnya senang sekaligus geli. Ia tertawa kecil sebelum meraih tengkuk Sandhi dan mencium kanan dan kiri pipinya bergantian. 'Semangat kerja, Sandhinya aku.' Bisiknya, diantara tawa kecilnya yang tidak tertahan, menarik bahu lebar Sandhi ke dalam pelukan.
Namun tawanya berhenti ketika Sandhi mendadak menarik diri, menjauh.
Belum juga ia mempertanyakan, Sandhi sudah berujar cepat. 'Jangan gitu, ntar aku beneran ga mau pergi.'
Tawanya pecah. Kali ini Anindya benar-benar tidak bisa menahan tawanya. Melihat Sandhi yang memandangnya dengan tatapan kesal, tidak membuatnya takut. Melainkan gemas. Seorang Arsandhi yang dikenal orang dengan auranya yang begitu tegas, kini tampak merajuk dihadapannya.
Sandhi akhirnya turun dari mobil, namun tidak dengan wajah yang kesal, melainkan senyum yang tak luntur. Puas karna bisa balas membuat wajah Anindya merah padam dengan menciumnya dalam hingga hampir kehabisan nafas. Meski Anindya memperingatkan posisi mereka yang di tempat umum dan mendorongnya menjauh, tenaga Sandhi lebih besar. Sandhi dapat menarik Anindya dengan mudah.
.
.
.
Sepanjang perjalanan dari bandara, beberapa kali Anindya tak bisa menahan senyum sumringahnya. Mengingat sikap Sandhi yang seperti itu seakan membuat perutnya diisi oleh kupu-kupu yang menggelitik.

KAMU SEDANG MEMBACA
severely.
Romance'.. to know you, to love you severely' - Sandhi, lelaki kantoran yang masih suka ngeband di akhir pekan, dan sedang belajar untuk memahami Anindya. '.. to learn; from you, with you' - Anindya, mahasiswi magister, yang berusaha mengikuti segala kebai...