11.

881 105 45
                                    

Hello, berapa purnama nih aku ga muncul?

Terimakasih kepada kalian semua yang sudah menyempatkan untuk membaca, vote, dan meninggalkan komen bahwa kalian masih nungguin story ini.

Tiap-tiap notifikasi yang muncul selalu bikin aku semangat untuk kembali nulis.
Beberapa kali juga aku liat di twitter bahwa beberapa dari kalian baca ini dan baper sama Arsandhi. YA AKU JUGA!! Aku yang nulis aku yang baper hehe.

Udah ah intronya panjang banget. Selamat membaca!!
.

.

.

Anindya mengerjap beberapa kali. Berusaha mengumoulkan kesadaran dan menerka sudah jam berapa waktu sekarang. Ponselnya ia letakkan di nakas, terlalu jauh untuk dicapai. Sementara tirai berwarna gelap yang kini menutupi jendela besar kamar apartemennya sepenuhnya menghalangi cahaya matahari untuk masuk. Membuat Anindya tidak bisa mengira-ngira sudah berapa jam ia tertidur dalam posisi ini.

.

.

.

Sandhi sampai di apartemen jam setengah delapan pagi, dengan penerbangan pertama dari Surabaya. Lelaki itu sengaja tidak mengabarkan perubahan jadwal kepulangannya yang berubah lebih cepat dari rencana, sengaja untuk membuat kejutan yang tentu saja sukses. Anindya pagi itu merebahkan dirinya di sofa spontan bangkit duduk saat mendapati orang yang ia kirimi pesan sejak tadi malah muncul di balik pintu.

Sandhi dapat melihat ekspesi kaget yang kemudian tergantikan oleh senyum merekah di wajah Anindya yang menghampirinya. Mungkin untuk memeluknya, atau mungkin untuk meraih koper dan membantu membereskannya, Sandhi tidak tahu dan Sandhi tidak peduli. Yang ia pedulikan adalah bagaimana Anindya berjarak cukup dekat dengannya hingga ia bisa menarik perempuan itu dalam pelukan dan memberikan ciuman-ciuman tanpa peringatan.

Serangan Sandhi terlalu tiba-tiba. Anindya harus mencengkram lengan Sandhi agar tidak terjatuh. Satu tangannya naik merangkul tengkuk suaminya saat Sandhi menyeretnya ke kamar tanpa melepaskan pagutan.

Ketika Sandhi perlahan membaringkannya di kasur, Anindya sempat mengira Sandhi ingin bercinta dengannya. Wajar saja jika Sandhi meminta haknya setelah beberapa hari keduanya terpisahkan jarak dan saling merindukan. Namun tidak. Sandhi hanya menyurukkan wajahnya ke ceruk leher Anindya, memberikan kecupan ringan disana, lalu hening. Hingga Anindya dapat mendengarkan nafas teratur lelaki itu.

Sandhi tertidur.

‘Sandhi.’ Panggilnya, namun tak ada respon. Jelas sekali lelaki ini tertidur.

Anindya melonggarkan rangkulan lengan suaminya dari pinggang. Berusaha melepaskan diri, namun baru saja ia bangkit duduk Sandhi sudah menarik tangannya.

‘Jangan pergi.’ Lirih Sandhi.

Sejak pagi ia hanya rebahan sambil menatap ponsel, menunggu panggilan atau setidaknya pesannya dibalas hingga menunda sarapan. Ia lega, meski pesannya tidak dibalas, Sandhi memberikan lebih, ia pulang lebih cepat dari jadwal.

Awalnya Anindya beranjak bangun untuk sarapan, namun melihat Sandhi yang menahan tangannya sambil terlelap membuatnya tidak tega. Tampaknya Sandhi sangat kelelahan. Bisa dilihat dari bayangan hitam dibawah matanya. Bahkan bulu-bulu halus yang menghiasi bibir suaminya itu menjelaskan lelaki ini bahkan tak sempat bercukur.

Melepaskan genggaman Sandhi, tangan Anindya bergerak naik. Mengusap sebentar sebelum mencium puncak kepala suaminya yang masih terpejam. ‘Aku ambil ponsel bentar, nanti peluk lagi.’ Bisiknya.

severely.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang