Prolog

429 30 3
                                    

"dengan berat hati, G-Star resmi dibubarkan."

Aku menyadari satu kenyataan setelah mendengarkan kalimat yang terasa sangat panjang bagi telingaku saat itu. Ketika aku berpikir bahwa impianku sedari kecil telah tercapai dan bersiap untuk terbang lebih jauh, rupanya jalan yang selama ini kutapaki bukanlah jalan yang seharusnya—atau memang tidak ada jalan untuk menuju impianku sejak awal, aku tidak tahu. Aku hanya melihat hamparan warna hitam gelap membentang di depanku. Jalanku terputus ketika kalimat pria—mantan bosku—itu terucap.

Pengorbanan yang telah kulakukan terus berputar di dalam kepalaku, memukul mundur dengan sebuah kata seandainya. Ya, seandainya aku tidak memilih perusahaan ini. Seandainya aku lebih pintar dalam mengambil keputusan. Seandainya... aku tidak memilih untuk bermimpi menjadi seorang idol. Apakah hidupku akan berjalan dengan baik-baik saja? Aku tidak perlu melalui rasa sakit ini. Aku tidak perlu mengorbankan masa remajaku dengan hanya berlatih di dalam ruangan tertutup dari pagi hingga malam. Mungkin, sekarang aku sedang menjalani hidup sebagai mahasiswi biasa jika aku tidak melewatkannya demi mempersiapkan debutku. Dari semua penyesalan itu, hanya satu yang memukulku dengan keras;bagaimana aku harus menghadapi keluargaku, kedua orang tuaku lebih tepatnya.

Akubertanya-tanya bagaimana reaksi mereka saat melihatku setelah sekian lama.Waktu yang terlewat tidaklah sebentar, bahkan saat natal aku pun tidak pulanguntuk melihat mereka. Dan sekarang, dengan tidak tahu malu, aku kembali denganmembawa kehancuran.

Langkahdemi langkah, telapak tanganku semakin berkeringat di dalam rengkuhan handlekoper merah mudaku, meski hari ini cukup dingin karena masih berada di musimdingin.

Rodakoper yang kuseret semakin terasa berat menggesek jalan yang kulewati menujurumah lamaku. Rumah di mana kedua orang tuaku tinggal. Melewati gang, berbelok,naik, dan semakin dekat aku terus memikirkan kalimat apa yang harus kuucapkansaat bertemu dengan mereka.

Hai, anakmu ini sudah debut tapi harus dibubarkan karena perusahaan tidak mampu menampung kami lagi.

atau

Maaf, bisakah kalian menampungku kembali? Aku tidak memiliki uang sama sekali tapi aku akan segera pergi mencari pekerjaan dan tidak akan membebani kalian lagi.

Nyatanya, semua kalimat yang telah kupikirkan tidak sampai di tenggorokan. Kedua mataku terpaku menatap dua orang yang merawatku sejak kecil berdiri dengan senyuman paling indah yang pernah kulihat. Mereka menyambutku dengan tangan terbuka dan tanpa pertanyaan apa pun. Tubuhku menerjang mereka dalam sebuah pelukan besar. Kalimat-kalimat panjang yang telah kupersiapkan digantikan dengan satu kata.

"Maaf," bisikku pelan.

Entah sejak kapan air mataku telah turun dengan deras. Seperti bocah berumur empat tahun yang menemukan mainannya rusak—aku menangis dengan keras. Tidak memperdulikan bagaimana rupa wajahku yang telah bercampur antara air mata, ingus, dan keringat. Satu-satunya yang terngiang dalam otakku adalah kalimat yang dibisikkan seorang wanita yang melahirkanku.

"Kim Chaewon, anak ibu, selamat kembali. Kamu sudah berusaha dengan baik, nak. Ayah dan ibu bangga padamu."

Suaranya yang selembut bulu serta usapan hangat pada punggungku mampu membuat perasaan yang kupendam terlepas. Bahkan saat kalimat yang telah memotong satu-satunya tali yang kupijak, aku mampu menahannya dan tidak menangis—melihat bagaimana ketiga mantan rekanku, menangis dengan keras, saat itu, aku merasa bahwa aku adalah gadis yang paling kuat. Nyatanya, aku tidaklah sekuat itu dihadapan kedua orang tuaku. Satu-satunya tempat yang selalu membuka pintu mereka untuk menyambutku pulang.

— ◌ ⚝ ◌ —


"Ini. Makanlah yang banyak. Kau perlu mengisi ulang tenagamu." Aku tersenyum kecil saat melihat potongan daging berada di atas suapan nasi yang akan kumakan.

A Letter of Hope (✔)Where stories live. Discover now