Minggu pagi di pertengahan Februari ini tidak begitu dingin untuk ukuran suhu di musim dingin, sedikit lebih hangat—sangat sedikit—karena matahari telah bersinar tanpa awan yang menutupi. Angin yang berhembus pelan mungkin membuatku sedikit merinding, tapi juga membawa udara segar. Belum lagi pohon-pohon yang mulai terlihat kembali bangun dari tidurnya. Sayang untuk dilewatkan, terlebih aku sedang mengayuh sepeda mengelilingi kampus.
Nyatanya? Mataku justru memilih untuk menatap punggung di depanku. Punggung yang baru aku sadari lebih lebar dari yang kuduga.
"Sepertinya aku menyesal memilih sepeda seperti ini. Aku tidak akan menyewanya lagi," ucapnya tiba-tiba. Mataku berkedip untuk mengembalikan diriku ke dunia nyata, keluar dari fantasi romantis menggelikan.
"Mengapa?"
"Aku sedang bersamamu, tapi tidak bisa melihatmu. Itu membuatku frustasi."
Tanganku mencubit pinggangnya cukup keras, hingga ia berteriak kesakitan. Beruntung dalam keadaan terancam pun Yunseong sunbae berhasil mengendalikan sepeda ini meski sempat oleng. Diam-diam aku menghembuskan nafas lega. Tidak lucu jika aku terjatuh dari sepeda ini karena ulahku sendiri yang mengganggu Yunseong sunbae.
Ia mendadak menghentikan laju sepeda ini dan otomatis kakiku ikut turun dari pedal, menapak tanah. Aku memandangnya sedikit heran, karena ia terlihat... tidak dalam kondisi bagus.
"Apa kamu ingin jatuh?!"
I-ini... pertama kalinya dia berteriak kepadaku, bukan?
Jantungku berdebar kencang. Bukan debaran yang bisa kunikmati seperti sebelumnya. Kali ini jauh lebih kencang hingga membuatku sedikit kesulitan untuk mengambil nafas. Terlalu terkejut meski aku tahu ia marah karena perbuatanku.
"Ma-maaf." Suaraku mengecil dan aku harap ia bisa mendengarnya.
Ia menghela nafas. "Maaf telah membentakmu. Aku takut kamu terluka jika aku tidak berhasil menyeimbangkan sepeda ini."
Tidak seharusnya dia meminta maaf. Seperti yang kubilang, aku hanya terkejut karena ini pertama kali mendengar ia berteriak.
"Aku yang seharusnya minta maaf." Kuberikan senyum selebar yang kubisa. "Sunbae benar. Aku membahayakan kita." Tapi ia tidak kunjung merubah raut bersalahnya. Kutarik kedua ujung bibirnya ke atas menggunakan jari telunjukku. "Tersenyumlah atau sunbae akan cepat tua."
"Biarkan aku melihatmu tersenyum lima detik lebih lama agar aku bisa ikut tersenyum."
Ya Tuhan, apakah Engkau menambahkan banyak gula saat menciptakannya? Bagaimana bisa mulutnya begitu lancar saat mengatakan hal-hal manis.
Meski enggan, pada akhirnya aku tetap tersenyum lima detik. Lima detik yang begitu panjang seumur hidupku. Aku tidak tahu bahwa lima detik bisa terasa begitu lama jika Yunseong sunbae sedang memperhatikanku. Tapi, melihatnya menepati janjinya untuk ikut tersenyum, lima detikku menjadi tidak sia-sia.
"Sarapan?"
Aku mengangguk penuh semangat. Namun, ada hal yang harus kami lakukan terlebih dahulu sebelum mengisi perut, yaitu mengembalikan sepeda ini. Aku tidak tahu di mana Yunseong sunbae meminjamnya. Aku hanya ikut mengayuh di belakang dan biarkan dia menunjukkan arahnya.
"Lelah?" Yunseong sunbae melihatku melalui bahunya.
"Sedikit." Aku tidak berbohong. Kami sudah mengayuh cukup jauh keluar dari kampus, tapi tak kunjung sampai juga. Pantas saja Yunseong sunbae kepayahan saat membawa sepeda ini sendiri.
Mataku melihat kios kecil berjajar beberapa meter di depan. "Sunbae, bagaimana jika istirahat sebentar di sana?"
Yunseong sunbae tidak menjawab, tapi aku merasakan sepeda ini melaju lebih cepat dari sebelumnya. Kemudian melambat saat hampir sampai di kios pertama. Aku turun dari sepeda begitu sampai di depan kios pertama. Yunseong sunbae mengikutiku—turun dari sepeda dan menuntunnya.
YOU ARE READING
A Letter of Hope (✔)
Fanfiction[ Hwang Yunseong x Kim Chaewon ] Kim Chaewon, seorang mantan idol yang menyerah akan mimpinya. Ia memilih untuk menjalani hidup sebagai masyarakat biasa demi menyelamatkan hatinya dari kemungkinan luka ketika menjadi seorang idol yang berhasil debut...