Dalam sejarah hidup selama dua puluh tahun, untuk pertama kalinya, aku, Kim Chaewon berhasil menyatakan cinta kepada seseorang. Sedikit bangga pada diriku sendiri karena dapat mengucapkannya dengan lancar; tanpa gagap, tanpa nada mengerikan dan tanpa tingkah memalukan. Aku melakukannya dengan baik, meski aku tidak bisa berbohong mengenai debaran jantungku yang menggila. Dewi batinku muncul mengenakan baju cheerleaders lengkap dengan pom pom, berputar mengelilingiku, bersorak penuh kegembiraan.
Tapi...
Seorang pria yang baru saja menerima pernyataan cintaku, justru hanya bisa duduk mematung, diam dan tidak berkedip. Membuatku kebingungan sekaligus menahan malu, karena dua pria yang satu meja dengan kami, mengenakan setelan kemeja dengan lengan yang tergulung hingga siku—sepertinya mereka baru pulang dari kerja—tengah melirik kami sembari menahan senyum. Sialan. Aku terlalu terbawa suasana sehingga lupa sedang di mana kami sekarang. Dewi batinku melambaikan tangan dan berangsur mundur perlahan, aku harap dia bisa membawaku ikut bersamanya—menghilang dari peradaban ini.
"Sunbae," bisikku dengan telunjuk mencolek lengan bawah Yunseong sunbae yang berada di atas meja. Memastikan bahwa pria itu masih hidup atau tidak. Setidaknya berikan aku suatu reaksi agar aku tidak semakin malu.
Ia berkedip sekali. Dua kali. Lalu menggeleng kecil. "Tidak. Tunggu. Ini. Chaewon-ah." Jeda sejenak. Ia mencubit pipinya sendiri. "K-kau tidak sedang bercanda, kan?"
"Apa aku terlihat seperti itu?" Ucapku dengan tawa yang tertahan. Ia masih mencoba mencubit-memukul pipi dan lengannya.
"Ya Tuhan." Kini ia membekap mulutnya, mata yang besar itu semakin membesar. "Seharusnya aku tidak membawamu ke tempat ini."
Memang apa yang salah dengan tempat ini? Oh, mungkin aku sudah membuatnya malu juga karena menyatakan cinta di tempat ramai. Batinku meringis sedih.
"Seharusnya aku membawamu ke tempat yang romantis, dengan bunga, lilin, atau... wine?"
Rahang bawahku jatuh mendengar apa yang ia ucapkan. "Apa itu penting?"
"Bukankah para gadis menyukai hal semacam itu?" Dengan wajah polosnya dia bertanya.
"Kurasa, sunbae harus berhenti membaca novel atau melihat drama, apa pun itu yang berbau romantis."
Ia mengambil satu tanganku dengan kedua tangannya, menatapku dengan senyuman lebar yang tidak pernah kulihat sebelumnya, tidak pernah melihatnya sebahagia ini selama sebelumnya. "Tapi, aku ingin melakukannya dengan benar." Jeda, masih menatapku hingga ia menjatuhkan kepalanya di atas genggamannya pada tanganku. "Sial. Aku tidak tahu bagaimana cara menghilangkan senyumku sendiri," ucapnya teredam.
"Maka teruslah tersenyum untukku." Sebelah tanganku yang terbebas, mengusap puncak rambut pria ini. Merasakan setiap helaian rambutnya yang lembut pada telapak tanganku. Kurasakan ia tertawa tertahan—bahunya bergetar kecil—hingga aku merasakan sesuatu yang keras menekan tanganku. Yunseong sunbae mengigit punggung tanganku.
"Shit!" —Aku kelepasan mengumpat lagi. Tapi gigitannya benar-benar sakit, meninggalkan bekas gigi depannya di tanganku. Sialan. "Meski lapar, tapi tidak memakan tanganku juga." Alisku menukik tajam, menatapnya lewat bulu mataku sembari mengusap bekas gigitannya.
"Salahkan dirimu yang terlalu menggemaskan, membuatku ingin memakanmu."
Aku segera mencubit lengan Yunseong sunbae. Apa dia tidak sadar ada orang lain yang satu meja dengan kami sekarang? Yang mana mereka jelas mendengar apa yang diucapkannya. Segera kututup sisi wajahku dengan tangan agar dua pria di samping kami tidak melihatku, karena aku yakin wajahku sudah semerah tomat sekarang. Sedangkan Yunseong sunbae hanya tertawa kecil, terlihat tidak peduli.
YOU ARE READING
A Letter of Hope (✔)
Fanfiction[ Hwang Yunseong x Kim Chaewon ] Kim Chaewon, seorang mantan idol yang menyerah akan mimpinya. Ia memilih untuk menjalani hidup sebagai masyarakat biasa demi menyelamatkan hatinya dari kemungkinan luka ketika menjadi seorang idol yang berhasil debut...