16 [END]

133 16 19
                                    

Dduk.

Bahuku merasakan benturan tiba-tiba di saat aku sedang menikmati ketenangan sembari membaca novel yang sudah kutelantarkan hampir setahun ini. Sisi kepala Yunseong sunbae di sana, bersandar di ujung bahuku. Kemudian bergerak-gerak untuk mencari tempat yang nyaman, membuatku ikut menggeliat kecil karena geli dari rambut-rambut halusnya yang mengenai kulitku.

Ia menegakkan kembali tubuhnya dan merengut menatapku. "Kamu sudah berjanji untuk meminjamkan bahumu karena aku sudah mengorbankan tempat duduk di dekat jendela untukmu." Bibir bawahnya maju memakan bibir atasnya, membentuk lengkungan ke bawah pada garis bibirnya.

Aku yakin, jika aku menceritakan kelakukan Yunseong sunbae yang seperti ini—imut dan menggemaskan—kepada orang-orang di kampus, mereka pasti tidak akan percaya. Sosok pria tanpa ekspresi, mengintimidasi, dan sedikit... hot ini, ternyata memiliki sisi lain yang sangat berkebalikan. Dan aku adalah orang yang bisa melihat sisi itu. Betapa beruntungnya aku, bukan?

"Iya, aku meminjamkan bahuku untuk sunbae. Tapi jangan menggeliat. Rambut sunbae membuatku geli," ucapku sembari menahan tawa.

Ia tersenyum manis, dan oh Tuhan... untuk kesekian kalinya aku terjatuh ke dalam pesonanya. Mata hitamnya yang bersinar akibat pantulkan cahaya dari lampu di atas kepala kami, memandangku lembut, selaras dengan senyuman di wajahnya.

Sekarang aku mengerti saat beberapa teman-temanku bercerita mengenai kekasihnya dengan kalimat hiperbola. Ketika mereka memuji betapa mengagumkannya kekasih mereka, aku hanya menanggapi ala kadarnya, sekadar menghargai, karena aku tahu mereka tidak semengagumkan apa yang diceritakan saat bertemu langsung. Dan kini aku berada di posisi itu. Sudah berapa kali aku memuji pahatan sempurna Tuhan ini?

Yunseong sunbae kembali meletakkan kepalanya di bahuku, dengan posisi sepenuhnya di bahuku—tidak diujung. Sedangkan aku kembali membaca novel dengan tenang.

Kami memiliki waktu sekitar kurang dari satu jam untuk sampai di Bandara Narita. Sebenarnya, hanya memerlukan sekitar dua jam penerbangan dari Seoul untuk sampai ke Tokyo. Namun kami mengambil jam penerbangan malam, karena menyesuaikan dengan jadwal kelas Yunseong sunbae, dan pasti pria ini lelah setelah beraktifitas seharian. Untungnya kelasku hanya sampai siang, sehingga aku memiliki cukup energi hingga detik ini.

Ya, kami memang sedang menuju ke Jepang. Menghabiskan waktu weekend kami untuk menikmati awal musim semi di Negeri Sakura tersebut. Tidak hanya kami berdua—tentu saja.

Setelah acara penerimaan mahasiswa baru telah resmi ditutup, aku berencana untuk mengajaknya sedikit berlibur. Aku berpikir, mungkin menikmati siang atau sore hari di taman dekat apartmen Yunseong sunbae bukanlah rencana yang buruk. Kami bisa berpiknik di sana sembari menjernihkan pikiran. Lagipula musim dingin sudah mulai mengucapkan selamat tinggal, cuacanya begitu bagus meski dua hari yang lalu sempat hujan seharian. Namun, rupanya keluarga Yunseong sunbae, lebih tepatnya ibunya, ingin berlibur ke Jepang untuk menyambut musim semi.

Tentu saja, Yunseong sunbae dan aku tidak luput dari ajakan berlibur itu. Dengan sedikit paksaan, aku tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut bersama mereka. Dan di sinilah aku dan Yunseong sunbae sekarang. Sedangkan mereka—ayah, ibu, kakak, kakak ipar, dan keponakan Yunseong sunbae—telah lebih dahulu berangkat tadi pagi buta.

Pandanganku teralihkan dari kertas penuh tulisan menuju awan-awan tipis di antara lautan melalui jendela kecil di sampingku. Tiba-tiba teringat akan sesuatu yang belum kusampaikan kepada Yunseong sunbae. Sesuatu yang datang tadi pagi saat aku masih berada di dalam kelas.

Kuputuskan untuk menyimpan ini hingga waktu yang tepat, karena aku sedikit yakin, mungkin ini bisa mempengaruhi emosinya. Lagipula aku belum memutuskan pilihanku. Dilema.

A Letter of Hope (✔)Where stories live. Discover now