15

179 22 23
                                    

"Untuk merayakan debut G-Star!" Seorang pria yang telah melewati umur 40an, mengangkat tinggi gelas berisi bir. Ada enam orang termasuk diriku sedang duduk mengelilingi meja persegi panjang. Tapi tak ada yang menyambut uluran gelas dari pria itu.

"Sajangnim~ kami belum debut!" Rekanku, Naeun, merengut dengan lucu.

"Benar! Lagipula 'merayakan' apa yang hanya ada ayam goreng dan teokkbokki?" ucap rekanku yang lain lagi, sekaligus menjadi leader bagi grup kami nanti, Hyunjin. Tentu sebagai member yang mengikuti 'leader', kami bertiga mengangguk setuju dengan semangat.

Bagaimana kami berempat dapat dengan berani 'melawan' seorang pria yang menjadi bos kami? Hmm... entahlah, mungkin karena kami sangat dekat satu sama lain. Menghadapi kesulitan bersama dan memiliki tujuan yang sama, membuat kami semua—berenam—tidak memiliki jarak meski umur terpaut lumayan jauh. Bukan berarti kami tidak sopan pada orang yang lebih tua, tentu kami menghormati bos dan manager kami, tapi ada kalanya kami bercanda layaknya seorang teman.

Pria yang menjadi bos kami itu menghembuskan nafas tajam saat manager kami yang sekaligus adalah teman bos sejak kecil menepuk pundaknya sembari tertawa kecil. "Aku janji. Saat debut kalian sukses, aku akan membelikan kalian daging sapi paling mahal."

Semua bersorak gembira atas janji itu, kecuali aku. Mendengarkan kata 'sukses', aku tidak bisa membohongi diriku yang tiba-tiba merasakan kecemasan. Memang banyak grup yang bisa menjadi 'sukses' meski berangkat dari agensi kecil, tapi lebih banyak lagi yang harus menerima kenyataan bahwa perjalanan mereka berada di ambang batas atau bahkan telah berakhir di tengah jalan.

"Chaewon eonni, kenapa?" Hyemi yang berada di sampingku membuatku tersadar bahwa aku melamun dan hanya aku seorang yang tidak mengangkat gelas jus jerukku ke atas. Segera memperbaiki ekspresi menjadi lebih ceria, aku memegang gelasku, membenturkan gelas-gelas kami hingga berbunyi 'ting' yang nyaring dan berkata 'cheers'.

"Jangan khawatir, Chaewon-ah." Suara lembut bosku mengalun melalui telingaku setelah ia menegak sedikit birnya. Tatapannya pun menghangat layaknya seorang ayah sedang menatap keempat putrinya. Ia tersenyum tipis. "Kalian hanya perlu melakukan yang terbaik, dan sisanya serahkan padaku."

"Bagaimana... jika tidak ada seorang pun yang datang untuk melihat kami?" Suara pelan Hyemi mampu membuat keadaan menjadi hening. Membuatku hampir menghela nafas memikirkan apa yang akan terjadi tentang masa depan kami.

"Apa yang kau tanyakan? Apa kalian lupa bahwa kalian sudah memiliki penggemar bahkan sebelum kalian debut?"

"Hmm... jika sajangnim akan bilang bahwa penggemar kami itu adalah keluarga kami sendiri... aku akan berhenti makan teokkbokki di restoran ini dan membelinya di restoran sebelah!"

Aku tertawa kecil mendengar ancaman Hyunjin. Memang restoran di mana kami berada sekarang adalah restoran milik bos kami, sekaligus tempat yang menjadi kantor agensi. Terkadang, di sela-sela latihan, jika tempat ini sedang ramai, kami berempat akan membantu. Meskipun begitu, tidak ada kata gratis untuk makan teokkbokki bagi kami. Entah karena bos kami ini memang pelit atau karena terpepet oleh keadaan.

"Awas saja jika kau membeli di tempat lain!" Pria itu menggerutu, namun tak lama ia kembali tersenyum. "Aku. Aku adalah penggemar pertama kalian. Ingat? Jika tidak ada yang bersorak, maka aku akan bersorak hingga pita suaraku putus untuk kalian."

"Jangan lupakan aku. Aku penggemar kedua kalian!"

Bibirku tidak bisa menahan senyum saat melihat bos dan manager kami begitu semangat menyebut diri mereka sebagai penggemar. Walaupun aku tahu, mereka hanya ingin menghibur dan memberi semangat kepada kami.

A Letter of Hope (✔)Where stories live. Discover now