"Oi! Ra!"
Naora hampir saja melupakan eksistensi manusia lain yang sedang duduk di depannya beberapa saat yang lalu. Pasalnya, ia hampir tidak percaya bahwa indra pendengarnya akan mendengar kalimat tidak biasa dari orang yang belum lama dikenalnya. Kesha Viona. Demi meyakinkan dirinya, Naora mencoba meminta klarifikasi dari lawan bicaranya.
"Lo apa?"
"Gue suka sama Rurin. Bantuin gue pedekate sama dia, ya."
Kali ini Naora yakin bukan pendengarannya yang salah. Jelas bukan dia tapi Kesha-lah yang salah. Otaknya salah. Perilakunya apalagi. Masih jelas dalam ingatan Naora, tepat pertengahan bulan Desember pada tahun kedua masa kuliah merupakan kali pertama ia bertemu dengan Kesha. Mereka bertemu di kafe yang jaraknya tidak jauh dari kampus.
Hanya sebuah kebetulan, saat itu Naora, Rurin dan Kesha berada di kelas yang sama untuk mata kuliah umum. Karena sebetulnya mereka mengambil jurusan yang berbeda-beda.
Naora berada di jurusan psikologi, Rurin mengambil jurusan ilmu hukum dan Kesha sendiri adalah mahasiswi jurusan desain komunikasi visual. Kebetulan mengambil mata kuliah yang sama dan kebetulan berada di kelompok project yang sama. Hanya itu yang ada di pikiran Naora awalnya. Meskipun Naora dan Rurin sudah berteman sejak SMA namun karena berbeda jurusan, mereka jadi jarang bertemu.
Namun setelah tugas itu berakhir mereka menjadi berteman akrab, bahkan grup chat yang dulu digunakan untuk membahas tugas kini berubah fungsi menjadi tempat sambat, menggosip atau sekedar bertukar sapa dan menanyakan kabar. Kadang juga mereka bertemu di luar kampus, sekadar untuk nongkrong di kafe atau makan malam bersama.
Meski sebetulnya, Naora kerap menolak karena alasan tugas atau memang sedang tidak ingin keluar kos. Jadi sejujurnya, Naora punya cukup alasan untuk menolak permintaan perempuan di depannya.
"Kayaknya Rurin lebih deket sama lo daripada sama gue deh."
"Tapi kalian kan satu sekolah. Lo pasti tau kebiasaan-kebiasaan dia."
Memangnya dia pikir satu sekolah jumlah siswanya hanya dua atau tiga. Sampai-sampai Naora bisa tahu betul kebiasaan teman-temannya. Meskipun demikian, Naora tampak menimbang-nimbang. Sejujurnya ia tidak terbiasa dengan urusan percintaan apalagi sesama jenis namun ia cukup tahu bagaimana karakter seorang Kesha meski baru setahun mengenalnya.
Katakan saja Kesha itu keras kepala. Sangat keras kepala. Ia ingat betul sewaktu dirinya terlibat adu mulut dengan Kesha hanya karena seblaknya terlalu pedas padahal menurut Naora tidak. Mereka sudah siap menodongkan garpu masing-masing kalau saja Rurin tidak menyela karena sudah terlanjur malu diperhatikan pembeli lainnya.
Sejak saat itu, Naora berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu sering berbicara di depan Kesha. Ia trauma sekaligus enggan berurusan dengan sifat keras kepala Kesha yang sudah mendarah daging. Tapi sayangnya Tuhan berkata lain, hari ini Naora ingin sekali di telan Bumi. Sebuah penyesalan memang datang belakangan. Naora benar-benar menyesal telah menyetujui permintaan Kesha untuk bertemu sore ini.
"Tapi setau gue, Rurin suka cowok deh."
"Oh, gampang itu, sih. Bisa di urus nanti. Tapi ngomong-ngomong, lo kok—"
Kesha sengaja menggantung kalimatnya dan memperhatikan ekspresi Naora yang tampak tidak terusik. Gadis bersurai pendek itu sengaja membuat jeda yang cukup lama namun tidak juga membuat Naora penasaran untuk bertanya. Ia hanya menunggu sambil meminum jus mangganya.
"Lo nggak kaget? Bukan soal permintaan gue tapi soal preferensi seksual gue."
"Kenapa harus? Kan urusan lo."
Kesha menyandarkan punggungnya. Meminum jus alpukatnya yang sudah tidak dingin. Naora sempat memperhatikan raut wajah Kesha yang sedikit melunak, hanya sesaat. Toh, bukan urusannya. Begitu pikirnya. Kemudian seulas senyum terbentuk di wajah Kesha seiring dengan jawaban pelan yang ia ucapkan.
"Hm, bagus deh."
Tiba-tiba Naora teringat persoalan yang belum selesai. Yang ia yakini akan sangat merepotkan dirinya. Ia menghela nafas, mencoba tetap sabar dan tenang. Naora tahu betul berurusan dengan manusia itu sulit, ia sangat paham karena ia mahasiswi psikologi. Ia mempelajari ilmu itu tapi bukan berarti ia harus selalu terlibat dengan permasalahan orang lain. Setidaknya itu yang jadi pertimbangan Naora.
"Ah, tapi kayaknya gue nggak bisa bantu lo." Naora mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, ia tahu ini akan sulit dan merepotkan. "Pertama, lo yang lebih deket sama Rurin. Kedua, gue nggak tau apa-apa soal dia. Ketiga, gue cewek yang indra percintaannya tumpul dan terakhir gue yakin gue masih suka cowok dan rasanya percuma lo minta bantuan dari orang yang nggak ada pengalaman cinta sesama jenis."
"Tapi kan—"
"Ditolak."
Naora memberi seulas senyum final sebagai tanda akhir dari negosiasi. Meski ia tahu, Kesha ingin menyela ucapannya namun pada akhirnya Kesha hanya mengangguk setelahnya. Jawaban panjang Naora tadi ternyata cukup ampuh untuk memadamkan semangat Kesha kali ini. Buktinya, kini gadis itu pasrah saja bahkan ketika Naora berpamitan untuk pulang duluan dan meninggalkannya sendirian. Suasana kampus kini mulai sepi, hanya terlihat beberapa mahasiswa yang duduk-duduk di gazebo dekat dengan gedung kuliah Naora.
Lima belas menit berlalu setelah Naora pergi. Kesha masih duduk di taman kampus. Ia sibuk menerawang dengan ekspresi yang tidak terbaca. Langit mulai gelap pasca tenggelamnya sang surya. Hari yang panjang bagi semua orang. Diam-diam, Kesha tersenyum. Pikirannya memang sering berpikir kemana-mana kalau sedang sendirian. Sial.
.
.
.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesha
Romance"Jangan suka aku! Biar aku saja yang suka kamu." -Kesha, bukan Dilan.