Dia memiliki emosi, sama seperti orang lain tapi ukuran dari hati dan emosinya jauh berbeda dari kebanyakan orang. –Given
Mata gadis itu sudah sembab karena air mata yang sudah terjun bebas tanpa izin sejak setengah jam yang lalu. Kotak tissue yang tadinya berada di atas nakas, kini sudah berada di pelukannya. Naora menatap gadis yang duduk di sebelahnya.
"Tante-tante nggak pantes nangis karena film Doraemon," celetuk Naora pada akhirnya. Kesha melirik Naora sekilas namun alih-alih berhenti justru tangisnya semakin keras. Naora yang sedikit merasa bersalah tergerak untuk mengusap bahu Kesha dan berusaha menenangkannya. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa Kesha akan berhenti menangis.
Tanpa paksaan, hanya dorongan alamiah. Di pikiran Naora hanya terlintas keinginan untuk menenangkan Kesha, sehingga ia terdorong untuk menarik bahu Kesha dan membawa ke pelukannya, tangannya sesekali mengusap bahu Kesha pelan. Menyalurkan sedikit afeksi, hanya itu motifnya.
"Iya, iya, nangis aja. Gue di sini kok."
Tangisan Kesha mulai mereda dan tanpa Naora sadari, lengan Kesha sudah melingkar apik di pinggangnya, entah sejak kapan. Ia juga baru saja menyadari sepasang mata tengah menatap wajahnya intens. Naora bisa melihat netra hijau tua itu berkilau, bulu mata yang basah dan rona merah muda di pipi Kesha. Ini merupakan pertama kalinya Naora melihat wajah Kesha dari jarak sedekat ini. Bagaimana bisa seseorang yang baru selesai menangis justru kelihatan lebih cantik?
"Lo nggak akan pernah ninggalin gue kan?"
"Maksud lo?"
"Jangan pergi. Jangan pernah tinggalin gue, ya."
Naora tertegun dengan kalimat Kesha yang terdengar desperate. Kenapa ada orang yang begitu menyukainya bahkan ketika ia sendiri tidak begitu menyukai dirinya sendiri?
Alih-alih menjawab, Naora justru menyandarkan kepalanya di bahu Kesha. Ia memejamkan matanya sembari merapalkan sebuah kalimat yang terdengar seperti bisikan namun masih bisa terdengar di telinga Kesha.
"Nggak janji, ya. Tapi selama gue bisa, mungkin gue nggak bakal pergi."
"Termasuk sama gebetan-gebetan lo yang lain?"
Naora melepaskan pelukannya. Ia mendongak, menatap Kesha bingung. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Kesha.
"Lo nggak bakal pergi ninggalin gue buat gebetan-gebetan lo yang lain kan?"
Naora tidak menjawab namun tatapan matanya tidak lepas dari manik hijau tua milik Kesha.
"Habisnya kata Rurin gebetan lo banyak, makanya pas lihat Doraemon pergi ninggalin Nobita gue jadi takut lo ninggalin gue juga nanti."
Naora berusaha menahan tawa namun hanya berhasil setengah menit karena setelahnya ia justru terbahak. Ia bahkan sampai berguling-guling di kasur sembari memegangi perutnya. Tawanya tidak berhenti meski Kesha sudah memasang raut wajah kesal.
"Gila sih, imajinasi lo liar banget, Sha. Gue sampe nggak bisa berhenti ketawa, sori deh."
Oho. Sebuah ide jahil muncul di kepala Kesha. Sementara Naora masih sibuk mengusap matanya yang berair karena terlalu banyak tertawa, Kesha memangkas jarak antara dirinya dengan Naora. Kesha mengurung tubuh Naora dengan kedua tangannya kemudian merapatkan tubuhnya dengan gadis yang tengah berbaring di bawahnya. Ia tersenyum jahil melihat keterkejutan Naora.
"Imajinasi gue bisa lebih liar dari itu, loh."
"Mau ngapain lo, setan?"
Kesha tak gentar, ia terus merapatkan tubuhnya hingga kedua ujung hidung mereka bertemu. Bahkan saat ini Kesha bisa merasakan nafas Naora di wajahnya.
"Mau cium lo atau.....mungkin lebih."
Kesha memiringkan kepalanya dan secara perlahan bibirnya menyentuh bibir lainnya. Titik yang sudah menjadi obsesinya sejak lama. Awalnya Kesha hanya ingin mengecupnya namun rasa ingin tahunya lebih besar ketika ia bersama Naora sehingga ia memutuskan untuk melumat bibir Naora dengan lembut tanpa tergesa-gesa. Dorongan itu pun yang memotivasi Naora untuk membalas ciuman Kesha yang memunculkan keheranan di benak Kesha sekilas.
Hanya sekilas karena selanjutnya setiap lumatan menjadi fokusnya. Lengan Naora sudah melingkari leher Kesha sementara mata gadis itu terpejam. Hanya butuh sedikit waktu hingga Kesha menarik wajahnya, berusaha mengatur nafas setelah kontak yang menyita oksigen keduanya. Netra kokoa itu menatapnya intens, kedua pipinya merona meskipun demikian tangannya masih berada di bahu Kesha.
Tangan kanan Kesha kini berpindah menyentuh pipi Naora, mengusapnya lembut. Ia hendak mencium Naora kembali sebelum lengan gadis itu mendorong bahunya dengan kuat hingga Kesha terduduk. Kesha hendak protes namun urung karena sedetik kemudian Naora memeluknya.
"Gue mau begini aja."
Kesha tertawa sekilas. "Iya, iya." Meskipun dalam hatinya berbisik. Padahal gue pengen nyium lo lagi. Kesha mengeratkan pelukannya berharap waktu berhenti saat ini juga. Baginya inilah saat-saat yang paling ia tunggu ketika Naora bisa menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dirinya yang berusaha terlihat kuat meski sebenarnya rapuh. Dirinya yang enggan menunjukkan emosinya. Dirinya yang tidak ingin terikat dan menggantungkan harapan pada siapapun.
Ah, pada akhirnya memang gue yang nggak bisa pergi dari lo. Bisik keduanya dalam benaknya masing-masing. Kesha sudah mengakui itu namun Naora tidak akan pernah mengakuinya keras-keras. Menunjukkan emosinya pada orang lain bukanlah hal yang bisa ia lakukan atau mungkin ia hanya sekedar gengsi untuk mengakuinya.
.
.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesha
Romance"Jangan suka aku! Biar aku saja yang suka kamu." -Kesha, bukan Dilan.