Tak ada yang salah dengan merenung di tengah malam. Tidak salah juga dengan menangisi rindu yang tak berujung pada temu. Naora mengutuk rembulan yang tak kunjung pulang dan digantikan mentari. Karena berteman dengan rembulan dalam waktu yang lama, bukanlah hal baik baginya. Setidaknya, tumpukan pekerjaan mampu menyibukkan dirinya, hingga ia terlupa dengan problematika cintanya. Naora benci malam. Atau lebih tepatnya, malam tanpa Kesha.
Sepekan telah terlewati, sejak Naora tidak lagi tinggal di flat Kesha. Tidak, ia tidak benar-benar meninggalkan Kesha dan pindah. Ia hanya memilih tidak pulang dan memilih menetap di rumah singgah dekat kantornya. Pikirnya, terlalu canggung untuk bertemu dengan Kesha. Pun ia butuh menenangkan diri untuk mengambil keputusan. Namun alih-alih tenang, Naora justru semakin uring-uringan seperti bocah kebelet buang air.
.
Sepekan juga sudah lewat tanpa pesan atau panggilan dari Kesha. "Dia bahkan nggak nyariin gue. Jadi sekarang gue yang dibuang." Ia bermonolog di siang bolong, mirip remaja puber yang sedang asyik-asyiknya merajut kisah asrama.
"Mbak Naora, teleponnya bunyi tuh dari tadi."
Kesadaran Naora baru kembali tatkala rekan kerjanya memanggil namanya untuk kesekian kalinya. Ia tersenyum kikuk sembari meminta maaf dan meraih ponselnya dengan buru-buru karena masih dalam mode dering. Naora bergegas ke toilet dan menerima panggilan yang menampilkan nama Rurin.
"Rin, ada ap—"
Lo dimana, setan?
Naora sedikit terkejut dengan nada bicara Rurin yang terburu-buru. "Mhm, kantor. Kenapa?"
Ke rumah sakit sekarang. Kesha butuh lo. Nanti gue shareloc.
Sambungan terputus. Naora menjeda beberapa saat, menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Tungkainya bergerak, meninggalkan kantor setelah mengantongi izin dari salah satu seniornya. Naora melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal. Ia tidak panik, ekspresinya masih sedatar biasanya. Atau, ia hanya ingin terlihat begitu.
Setelah membaca pesan dari Rurin yang berisi nomor ruangan Kesha, Naora bergegas memasuki bangunan rumah sakit berlantai tujuh yang berdiri tegak di atas tanah lapang yang ditanami pepohonan dan rumput-rumputan yang dirawat. Ia berjalan melintasi halaman menuju pintu utama rumah sakit yang dinaungi kanopi dan seolah menjadi pilar-pilar kokoh yang menyangga bangunan ini.
Naora baru saja menyadari ruangan dimana Kesha dirawat bukanlah di bangunan utama rumah sakit melainkan sebuah paviliun yang terletak sedikit menjorok ke dalam sisi kanan rumah sakit.
Saat memasuki ruangan, Naora mendapati Kesha tengah tertidur. Wajahnya tampak pucat dan lebih tirus dari sebelumnya. Lengannya terulur, menyentuh punggung tangan Kesha pelan. Ah, gue kangen tangan ini. Naora memilih duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan. Kepalanya tiba-tiba pusing mendadak. Suasana yang sunyi dan hembusan angin yang masuk melalui jendela, membuat Naora mengantuk. Pandangannya menggelap.
Naora terbangun sewaktu riuh rendah pertengkaran terdengar di rungunya. Ia mendapati jaket coklat Kesha menyelimuti bagian atas tubuhnya dan sayup-sayup ia bisa melihat Rurin dan Kesha tengah merebutkan sesuatu. Melontarkan sumpah serapah satu sama lain.
"EH ANAK MONYET BALIKIN NGGAK?!"
"NGGAK USAH PEGANG-PEGANG SHA. PELECEHAN TAHU!!"
"PELECEHAN PALA LO! NGGAK SUDI GUE. CUIH!"
"Kalian ngapain?" suara parau Naora menghentikan pertengkaran Rurin dan Kesha. Mereka kompak menatap Naora. Antara bingung dan canggung. Hingga detik berikutnya, Rurin membuka suara.
"Ini nih pacar lo yang mulai. Masa mau pegang-pegang gue."
"Lo yang ngambil hp gue, cebol! Jangan salah paham Ra, gue nggak ngapa-ngapain kok."
Seulas senyum terbentuk dari sudut bibir Kesha. Garis wajahnya terlihat lelah namun melembut seketika sewaktu bertemu tatap dengan netra kokoanya. Lingkaran hitam di bawah mata Kesha tidak luput dari perhatian Naora. Ada sedikit sesal dalam hatinya.
"Jadi, lo sakit apa?"
Suara Naora tercekat di ujung kalimat. Kesha menyadari hal itu namun urung untuk menjawab. Sementara Rurin yang merasa eksistensinya ditiadakan ingin memprotes. Naora tidak lagi menatap Kesha, kepala tertunduk menunggu jawaban. Rurin bosan dengan drama kampungan di depannya dan berbicara dengan lantang.
"Asam lambung Ra. Asam lambung Kesha kumat karena dia kebanyakan minum kopi demi ngejar deadlinenya."
Naora menatap Rurin. Mencerna tiap kata yang keluar dari mulutnya.
1
2
3
Naora diam.
"Lo pikir Kesha kena kanker dan mau mati besok. Ekspresi lo biasa aja sih," Rurin balik menatap Kesha garang. "Lo juga nggak usah sok sedih, Sha."
"TERUS KENAPA LO BILANG KESHA BUTUH GUE, SEAKAN-AKAN HIDUPNYA TINGGAL HARI INI, RURIN SETAN! SINI LO!!"
Rurin terbahak ketika mendapati wajah Naora memerah padam, menahan amarahnya. Hal yang baginya sangat langka hingga Rurin bisa puas menertawakan karibnya hingga terpingkal-pingkal. Sementara Kesha, wajahnya tak kalah merahnya dengan Naora. Bukan karena marah, ia hanya berusaha menahan tawa bahagianya yang ternyata disadari oleh Naora.
Di sisa-sisa tawanya, Rurin melihat Naora kembali menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tanganya. Entah mengucap syukur karena Kesha baik-baik saja atau justru merapalkan kalimat kutukan untuknya karena sudah mengerjainya secara tidak sengaja. Entahlah, ia hanya merasa sedikit lega. "Aduh tolol banget punya temen macem kalian berdua. Aduh sakit perut gue."
.
.
tbc.
a/n: Halo, Zi di sini! sebelumnya, saya mau mengucapkan terima kasih banyak-banyak buat kalian pembaca setia 'Kesha' karena sejujurnya masih nggak nyangka readers cerita ini bisa sampai di angka segitu. Terima kasih juga atas vote dan komentar kalian yang bikin saya termotivasi buat extra chapter ehehe. Anyways, karena saya terlalu takut ngerusak storyline, jadi ketimbang melanjutkan, saya bawain kalian extra chapter deh ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesha
Romance"Jangan suka aku! Biar aku saja yang suka kamu." -Kesha, bukan Dilan.