Lie

1.2K 113 3
                                    

Jatuh cinta denganmu layaknya sebuah mimpi. Terasa seperti tidak nyata dan terlewati begitu saja.

Aku tidak pernah menyesal, tidak juga marah pada semesta yang membuat pertemuan kita seolah sebuah lelucon saja.

Meskipun begitu, aku percaya waktu akan menyembuhkan segalanya, termasuk rasa yang tidak pernah terbalas.

.

Mobil Calya silver yang dikemudikan Kesha sudah memasuki lingkungan kampus sekitar pukul satu malam. Kos Rurin sudah lebih dulu dilewati, sehingga kini tinggal Naora yang duduk di sebelah Kesha. Kesha melirik Naora yang menyandarkan kepalanya ke kaca mobil. Meski tertutup sebagaian rambut, Kesha masih bisa melihat wajah Naora, kelopak matanya mengatup.

"Ra, tidur?"

Hm

Gumaman Naora menjadi tanda bahwa gadis itu tidak tidur, hanya menutup matanya saja. Melihat itu, rasa bersalah kembali menyerukan dalam diri Kesha. Tugas kuliah yang ia prediksi akan selesai siang hari justru baru selesai sore sehingga Kesha tertahan. Karena itu pula acara nonton bersama yang mereka agendakan pukul tiga justru terealisasi pada pukul enam lebih.

Bodohnya lagi, Kesha lupa memesan tiket secara online sehingga mereka kehabisan tiket dan terpaksa mengambil jadwal penayangan yang paling akhir. Kesha tahu semuanya terjadi karena kesalahannya dan ia maklum jika Naora masih setengah hati menerima permintaan maaf darinya.

"Sori ya. Lo pasti udah ngantuk banget kan dari tadi."

Hm

"Lo masih marah ya?"

Kali ini Naora membuka matanya dan menegakkan punggungnya. Mengalihkan pandangannya pada Kesha yang menatap lurus ke depan. Lampu jalanan yang kekuningan berpendar pucat menyinari wajah Kesha yang diliputi perasaan bersalah. Ia menyadari Kesha tulus menyesali perbuatannya dan jika dipikirkan kembali.

Naora juga tidak bisa semata-mata menyalahkan Kesha karena Naora ingat Kesha sedang menjalankan aksi pedekate dengan Rurin tapi ia baru menyadari bahwa sejak tadi Kesha justru tidak banyak bicara. Hanya menyahut ketika ditanya Rurin. Bukan obrolan khas orang pedekate. Tiba-tiba Naora juga merasa bersalah.

"Nggak."

"Seriusan?"

"Iya, tapi lain kali kalo mau pedekate berdua aja. Nggak usah bawa orang ketiga. Jadi setan kan gue."

Naora tersenyum sekilas. Betul, hari ini ia benar-benar menjadi setan, begitu pikirnya. Sementara Kesha, ekspresinya tidak terbaca sesaat setelah seulas senyum yang ia lihat di wajah Naora. Tentu saja Naora tidak memperhatikan ekspresi Kesha karena ia sudah sibuk mengecek isi tasnya. Mereka hampir sampir di kos Naora.

Naora sudah melepas seatbelt dan siap untuk membuka pintu mobil sebelum lengan kanannya ditahan oleh Kesha. Naora berbalik dan menatap Kesha penuh tanya. Beberapa saat, mereka hanya saling beradu pandang. Kesha yang kebingungan mencari kata dan Naora yang kebingungan dengan perilaku Kesha.

"J-jangan pergi."

Naora menunjukkan raut wajah dua kali lipat bingung. Sementara Kesha dua kali lipat canggung, karena kalimat yang ia susun di kepalanya tidak bisa ia keluarkan kendati justru kalimat aneh bermakna ambigu.

"Gue mau jujur sama lo."

"Soal apa?"

"Gue, Rurin."

Naora diam sejenak dan kembali menyandarkan punggungnya, siap untuk mendengarkan. Kemudian Naora mengisyaratkan untuk memberi penjelasan lebih lanjut. Kesha ragu sejenak namun ia meneguhkan hatinya untuk siap dengan segala konsekuensi atas keputusannya. Pun, Kesha tidak lagi bisa mundur.

"Sebenernya gue kemarin cuma mau lihat reaksi lo."

Tidak ada reaksi. Oh, batin Naora.

"Gue nggak suka Rurin."

"Oh, yaudah."

"Tapi gue suka lo."

Tidak ada reaksi.

1

2

3

Kesha sedikit tertekan menunggu respon Naora. Hingga lima detik berlalu, nihil. Tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibir gadis di sebelahnya. Netra kokoa Naora memandang lurus ke depan, raut wajahnya tidak menunjukkan apapun.

Kesha mencari sebuah respon. Ia butuh tanggapan dan dengan dorongan itu pula Kesha berinisiatif menyentuh telapak tangan Naora, setelah tidak didapati reaksi apapun. Kesha memberanikan diri untuk menggenggamnya dan mengusap punggung tangan Naora dengan ibu jarinya. Detik berikutnya, Naora menarik tangannya. Tidak terlalu kasar, hanya sedikit gestur menghindar. Naora juga berusaha menimbang untuk tidak menyinggung perasaan Kesha.

"Lo pasti capek. Balik gih, keburu pagi loh."

Rentetan peristiwa yang terjadi berikutnya seolah terjadi dalam hitungan detik, begitu cepat dan terjadi begitu saja. Itu yang Kesha yakini meski faktanya, Naora keluar dari mobilnya, berterima kasih, menutup pintu mobil dan berjalan menuju gerbang kosnya hingga ia lenyap dari balik gerbang itu.

Kesha masih ingat Naora masih sempat tersenyum padanya tadi. Ia juga ingat Naora berpesan untuk hati-hati di jalan kemudian gadis itu melambaikan tangan padanya. Tapi Kesha tidak merespon. Lebih tepatnya, ia tidak bisa merespon. Ia ingin terus meyakinkan dirinya bahwa ia belum kalah. Ia belum dipatahkan. Ia masih punya kesempatan. Ia ingin mempercayai itu meski rasa takutnya saat ini lebih besar dari apapun.

Lain cerita dengan gadis yang lainnya, sesampainya di kamar, Naora tidak langsung berganti baju atau membersihkan sisa make up seperti yang biasa ia lakukan. Gadis itu memilih merebakan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya berputar pada setiap detik kejadian yang baru saja ia alami dan mulai bermonolog.

Tadi itu apa?

Kenapa Kesha bilang suka gue?

Kenapa tangannya dingin banget pas megang tangan gue?

Kenapa ekspresi setelahnya, kenapa kelihatan....dia mau nangis?

HAH? APA-APAAN ITU WOY?

.
.

tbc.

KeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang