Iwan tampak menggertakkan giginya. Wajahnya sedikit memerah. Itu menandakan bahwa amarahnya kini tengah memuncak. Baru pukul empat sore di Jakarta. Dirinya juga baru saja usai merampungkan tugasnya.
Sore ini ia mendapat beberapa kiriman foto dari teman satu letingnya yang berada di Sorong. Foto-foto itulah yang menjadi pemicu kemarahannya sekarang. Sebelum ia kembali dari satgas dulu, ia memang sempat berpesan pada sahabatnya itu, Lettu Bayu namanya, agar ia sesekali melihat dan memastikan keadaan Kiki baik-baik saja selama di kota itu. Tapi kabar dari Bayu sore ini, benar-benar merusak seluruh harinya.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau .... " Tutt. Sekali lagi ia memutus panggilannya. Sudah sejak satu jam yang lalu, Iwan tidak bisa menghubungi calon istrinya. Ia mencoba menelepon Nina juga tidak diangkat. Iwan semakin geram saat ia juga tidak dapat menghubungi Ryan. Ia baru sadar bahwa nomor ponselnya sudah Ryan blokir. Entah apa maksudnya. Ia tidak jadi membanting ponselnya ketika ia mendengar ponselnya berdering. Caller id menunjukkan nama calon istrinya yang menelepon. Ia segera menjawab telepon itu.
"Dari mana aja?? Udah berapa kali aku nelfon kamu?? Hah!!" Teriaknya penuh emosi.
"Harus banget ya kamu teriak gitu?" Ujar suara di seberang sana.
"Lagi dimana kamu sekarang?" Sahut Iwan lagi, kali ini dengan nada suara yang lebih rendah.
"Aku di rumah, baru balik dari rumah sakit."
"Dari rumah sakit atau habis kencan sama Ryan?"
"Maksud kamu apaan?"
Iwan segera memutus sambungan telepon tersebut kemudian mengirim semua foto yang ia dapatkan dari Bayu pada Kiki. Beberapa detik kemudian ia menelpon kembali calon istrinya.
"Kamu mata-matain aku mas? Kamu nyuruh orang buat ngawasin aku?"
"Jadi gitu kelakuan kamu waktu jauh dari aku?" Sahut Iwan geram.
"Jangan nuduh yang macem-macem ya. Kamu keterlaluan sampai nyuruh orang untuk ngawasin aku segala. Jangan mentang-mentang bapak kamu punya kuasa sehingga kamu bisa seenaknya nyuruh orang mata-matain aku." Cerocos Kiki di seberang sana. Iwan hanya tersenyum kecil.
"Nggak perlu bawa-bawa nama papa ya. Jelas-jelas di sini kamu yang salah."
"Oke. I'm done. Aku yang salah. Aku minta maaf." Kiki memutus sepihak sambungan telepon itu. Iwan semakin murka.
****
Kiki mendengus sebal. Belum sempat ia menjelaskan kesalahpahaman itu, Iwan main menuduh saja tanpa mau mendengar penjelasannya. Iya juga kesal setengah mati saat tau bahwa Iwan menyuruh orang untuk mengawasinya. Papa dan abang-nya saja tidak pernah memata-matainya.
Dan juga, ia sangat menyayangkan sikap Ryan yang menyebabkan pertikaian ini terjadi. Jelas Ryan sudah tau dirinya dan Iwan sudah dijodohkan tapi masih saja berani melamarnya.
"Gue udah duga Ki, perang dunia ketiga bakal terjadi sejak Ryan tiba-tiba muncul di UGD." Nina meletakkan gelas berisi air es untuk mendinginkan suasana hati adik iparnya itu. Keduanya duduk di tempat tidur Kiki.
"Nggak tau Na. Gue cuma bisa pasrah."
"Ya jangan cuma pasrah gitu Ki. Lo jelasin dong ke Iwan gimana jalan ceritanya. Kalau dia nggak percaya, yaudah itu masalah dia. Yang penting lo nggak ngelakuin kesalahan."
"Lo tau sendiri kan mas Iwan kalau marah gimana. Apalagi ini yang cari gara-gara sahabatnya sendiri."
"Yang penting lo coba jelasin dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Too, Capt!
Non-Fiction"Lebih baik jadi perawan tua daripada balikan sama kamu!" Gadis berambut lurus sebahu itu berbalik dan bersendekap. "Jangan ngomong gitu, yang. Ucapan adalah doa loh, mau kamu jadi perawan tua beneran?" Ucap lelaki berseragam loreng itu sembari men...