Hari ini ia menikah.
Dhira menatap gaun sederhana yang disodorkan Mira, istri dari Abang Nadhif dengan dalam diam.
"Ini." Sodor Mira lagi. "Mudah-mudahan cukup di kamu."
Dengan ragu Dhira mengambil gaun putih itu. Gaun ini terlalu sederhana untuk dijadikan sebagai gaun pengantin. Tapi ini bukan masalah besar baginya, karena toh awalnya ia malah berpikir ia akan menikah di KUA tanpa ada acara apa-apa. Tapi karena Ima tak ingin menjadi bahan omongan karena cucunya menikah diam-diam, akhirnya nenek tua itu menggelar acara sederhana di rumahnya. Terdengar sedikit aneh karena biasanya acara pernikahan digelar di pihak perempuan. Namun, karena Rina tak terlalu mau ikut campur dengan urusan pernikahannya, maka akhirnya hanya keluarga Nadhif yang banyak berkorban. Ibunya pun hanya memberi uang kepada Nadhif untuk biaya pernikahan dan menyerahkan semuanya pada lelaki itu. Hal itu juga cukup membuat Ima tak menyukai ibunya.
"Cukup, Kak." Ujar Dhira setelah ia memakai gaun yang disodorkan Mira tadi.
Mira tersenyum puas, "Alhamdulillah, berarti Kakak nggak salah pilih."
Dhira mengangguk, dalam hati ia berterima kasih juga karena Mira memilihkan gaun dengan bagian perut yang tak terlalu ketat, setidaknya perut buncitnya tidak terlihat. Ia tetap tak ingin para undangan berpikir yang aneh-aneh meskipun pada kenyataannya memang begitu.
"Nadhif mana, kak?" Tanyanya ketika ia sudah duduk dan membiarkan Mira membersihkan wajahnya untuk di make up.
"Nadhif juga lagi siap-siap sama Bang Reno di kamarnya. Oh, ya tadi katanya Ibu sama Ayah kamu udah datang. Sekarang lagi di bawah ngumpul sama yang lain."
Dhira mengangguk. Cukup menyedihkan karena hanya ayah dan ibunya saja yang menghadiri pernikahannya, tapi ia tetap bersyukur karena setidaknya ayahnya mau menjadi walinya. Karena tadinya ia tak punya cukup keberanian untuk menghubungi ayahnya. Ia sudah hampir dua tahun tak bertemu dengan ayahnya. Ia pun tak ingin mengganggu ayah dan keluarga barunya.
"Keluarga yang datang cuman Ayah dan Ibu kamu, Dhir?" Tanya Mira sambil meratakan foundation pada wajahnya.
Dhira mengangguk pelan. Ia mengerti jika wanita di depannya merasa heran.
"Saudara-saudara kamu?"
"Ayah sama Mama udah cerai dari aku kecil, Kak. Aku tinggal sama Mama dan Ayah punya keluarga baru lagi. Keluarga Mama juga adanya di Surabaya."
Mira mengangguk paham, "Oh gitu."
"Aneh, ya, kak? Kayaknya aku bakal jadi bahan omongan keluarga Nadhif." Ia memang sempat terkejut saat melihat banyaknya keluarga Nadhif. Beberapa diantara mereka pun ada yang terang-terangan bertanya mengapa Nadhif tiba-tiba menikah.
"Nggak akan. Keluarga ini baik semua, kok, yaa walaupun Nenek agak gitu." Mira terkekeh pelan dan Dhira tersenyum, sepertinya ia akan punya teman baru. Sejak awal bertemu, Mira tampak menyambutnya dengan baik. Wanita itu juga yang membantu banyak dalam mempersiapkan pernikahannya. Setidaknya dalam keadaan begini, Dhira masih bertemu dengan orang baik.
"Coba merem dulu, Dhir." Seru Mira yang langsung dituruti olehnya. Dhira pun terpejam. Ia tak bisa melihat apa-apa selain kegelapan dan hal itu yang membuatnya menjadi termenung memikirkan semua hal yang terjadi pada hidupnya beberapa waktu ini.
Entah jurus andalan apa yang Nadhif pakai sehingga Ima setuju memberikan restu untuk mereka menikah. Meskipun begitu, sikap Ima padanya tak berubah secepat itu, wanita tua itu tetap bersikap ketus padanya.
"Kamu cantik, Dhir." Ujar Mira memecah keheningan.
Dhira terkekeh pelan. Aneh rasanya disebut cantik oleh mantan model seperti Mira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resiliensi | Seri Self Acceptance✅
Fiction généraleAndhira tahu hidupnya sudah berantakan. Tapi, bukankah selalu ada kesempatan untuknya memulai hidup yang lebih baik? Dan ia tahu, bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. There is no limit of strunggling. Cover by : canva