Hari ini tanggal merah, Dhira tidak bekerja dan yang dilakukan dari pagi hanya rebahan sambil maraton menonton film. Sudah lama rasanya Dhira tak merasakan hari santai seperti ini. Sedangkan Nadhif dari pagi sudah pamit pergi. Ia tak tahu Nadhif kemana, lelaki itu hanya bilang ada tugas kuliah yang harus dikerjakan.
Sejak dua hari yang lalu Nadhif menyatakan perasaannya, tak ada yang berubah dari lelaki itu. Dhira pun merasa biasa saja. Meskipun begitu, kenyataan bahwa Nadhif memiliki rasa lebih padanya kadang membuat ia mengingat kembali sikap Nadhif selama ini. Dulu ia memang pernah mengira Nadhif menyukainya, mengingat lelaki itu lebih sering menghabiskan waktu dengannya dibanding dengan Leta. Tapi saat ia melihat betapa semangatnya Nadhif menceritakan Leta, ia menghapus pikirannya itu.
Kenyataan bahwa Leta membawa pengaruh baik pada Nadhif memang benar adanya. Nadhif yang asalnya tidak terlalu serius dengan pendidikannya, sekarang bisa menjadi mahasiswa yang tak mau melewatkan jadwal kuliah. Motivasi lelaki itu untuk hidup lebih baik di masa depan sangat besar. Banyak perjuangan yang Nadhif lakukan. Proses yang ia lakukan juga tak segampang yang dikira. Dan sekarang, beban Nadhif bertambah karena harus menikah dan menjadi calon ayah. Rasa bersalah masih Dhira rasakan, meskipun Nadhif selalu mengatakan bahwa lelaki itu tak menyesal mengambil langkah ini.
Sekarang entah kenapa, hatinya selalu gusar jika mengingat pengorbanan Nadhif pada langkah yang mereka pilih ini. Lelaki itu punya keinginan untuk belajar menjadi seorang suami di saat Dhira kadang menyesal dengan langkah ini. Nadhif pun mau belajar mencintai anaknya di saat Dhira tak memiliki perasaan apa-apa pada makhluk di dalam janinnya. Dan sejujurnya dari sudut hatinya yang terdalam, Dhira ingin melakukan apa yang Nadhif lakukan. Hanyasaja, ia tak tahu harus memulai dari mana.
Pukul dua siang Dhira keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Keadaan rumah tampak sepi, ia tak tahu Ima ada dimana. Biasanya di jam seperti ini Ima ada di kamarnya sambil menonton sinetron. Hubungannya dan Ima sudah mulai agak membaik. Lebih tepatnya, Dhira yang selalu mengalah dan mengiyakan semua perkataan Ima. Ima pun sudah mulai mengurangi intensitas mengomel dan menyindirnya. Meskipun ia pernah memergoki Ima yang sedang bercerita tentangnya pada Mira dengan nada kesal. Entah apa yang Ima ceritakan, Dhira tak terlalu peduli.
Sejak pagi ia belum makan. Kehamilannya memang sangat mengubah pola makannya menjadi buruk. Nadhif sering mengomel padanya tapi ia selalu mengabaikannya. Dhira juga tak ingin seperti ini, tapi sungguh moodnya untuk makan memang sangat menurun. Siang ini ia baru merasakan lapar tapi sialnya tak ada makanan apapun di dapur, di kulkas pun hanya ada telur dan beberapa bahan lainnya tapi Dhira terlalu malas untuk memasak.
Dhira menghela napas pelan lalu mengambil ponselnya, mengirim pesan pada Nadhif dan meminta lelaki itu membeli makanan saat pulang nanti. Selagi menunggu balasan Nadhif, Dhira mengambil buah nanas yang ada di kulkas. Ia lalu memotongnya dan mulai memakannya. Di potongan ketiga yang ia makan, Dhira mendengar Ima berteriak padanya membuat ia langsung menjatuhkan sepotong nanas ditangannya.
"Dhira kamu makan apa?!!" Ima menatapnya terkejut lalu mengambil piring berisi nanas di hadapannya. "Kamu bego?" Bentaknya.
Dhira menatap Ima heran, sedikit takut dengan bentakan perempuan tua itu. Sungguh selama dua bulan ini ia tinggal dengan Ima, tak pernah sekalipun Ima membentaknya. Ima lebih memilih menyakitinya dengan cara elegan dengan berkata pelan tapi menyakitkan. Dengan hormon ibu hamil yang membuatnya kadang sensitif membuat bentakan Ima terasa menyakitkan untuknya sekarang. "Ini punya Nenek, ya? Dhira cuman minta tiga potong, kok." Balasnya berusaha tenang.
Ima masih menatapnya kesal, dan Dhira tak mengerti mengapa Ima harus sekesal ini hanya karena ia memakan buahnya.
"Kamu tahu ini buah apa? Kamu, kok, sebego ini, sih? Mau bunuh anak cucu saya, ya?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Resiliensi | Seri Self Acceptance✅
Ficción GeneralAndhira tahu hidupnya sudah berantakan. Tapi, bukankah selalu ada kesempatan untuknya memulai hidup yang lebih baik? Dan ia tahu, bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. There is no limit of strunggling. Cover by : canva