19| Berdamai dengan Keadaan

3.5K 436 15
                                    

Playlist : DAY6 (Even of Day) - Where The Sea Sleeps

***

"Gimana?"

Dhira menatap penuh harap pada Nadhif yang sedang mencicipi kangkung buatannya. Siang ini, Dhira mencoba memasak dan masakannya kali ini hanya kangkung, tempe tepung dan sambal. Masakan yang amat sederhana, tapi tidak lantas membuat Dhira percaya diri. Hanya sambal yang membuatnya percaya diri, Nadhif pernah berkata bahwa sambal buatannya sangat enak.

"Masih bisa dimakan." balas Nadhif yang langsung membuat Dhira mendengus kesal.

"Serius, masih bisa dimakan, Dhir." ujar nadhif lagi.

Dhira pun mengambil sendok dan mencicipi masakannya. Benar, masih bisa dimakan tapi rasanya tidak spesial, biasa saja.

"Tapi rasanya biasa aja."

Nadhif tersenyum kecil, "Emang kamu mau rasanya kayak gimana? Ini udah pas, kok."

"Ya udah, deh." Dhira pun cemberut, entah karena apa. Ia hanya ingin membuat hal yang spesial untuk Nadhif, mengingat mereka baru saja berdamai beberapa hari yang lalu. Tapi sayangnya, tak banyak hal yang bisa ia lakukan.

"Jangan cemberut gitu dong." kekeh Nadhif.

"Bukan gitu, aku cuman pingin buat masakan yang enak banget gitu." Rasanya Dhira masih belum terlalu luwes berbicara aku-kamu dengan Nadhif. Kemarin, lelaki itu meminta Dhira untuk belajar berkata yang sopan dan enak didengar. Katanya, janin dalam perut pun sudah bisa mendengar, jadi alangkah baiknya jika Dhira dan Nadhif mulai menghilangkan kata kasar dalam pembicaraan mereka. Bahkan Nadhif sempat memarahinya ketika ia tak sengaja berbicara kasar.

"So sweet banget, sih, istrinya aku. Jadi makin cinta." seru Nadhif berlebihan membuat Dhira mendengus malas. Sejak mereka memutuskan untuk berdamai dan menjalankan hidup dengan baik pun, sejak saat itu pula Nadhif kadang tak malu-malu untuk menunjukan perasaannya. Banyak hal yang berubah dari mereka. Dhira pun merasa ia lebih terbuka lagi pada Nadhif. Terlebih, sekarang ia dan Nadhif jauh lebih peduli dan protektif pada janin di perutnya. Setiap malam pun Nadhif selalu mengusap perutnya membuat perasaan Dhira selalu menghangat setiap lelaki itu melakukannya.

"Sini makan, Dhir." Nadhif mengambil dua piring kosong dan mengisinya dengan nasi, ia juga menuangkan jus tomat yang ia buat di gelas Dhira.

"Makan yang banyak. Jusnya juga minum." Serunya.

Dhira pun tersenyum, "Makasih, Nadhif."

"Sama-sama, sayang."

Setelah itu, Dhira pun tertawa ngakak. Sungguh, mungkin bagi orang lain ini romantis, namun baginya ini sangat lucu.

"Idih, mulai ngakaknya." komentar Nadhif.

"Kita kayak orang pacaran tauk, Dhif. Geli!" kekeh Dhira.

"Ya nggak apa-apa dong. Lagian kita itu udah suami istri, bukan pacaran lagi."

"Seneng ya, Dhif, bisa nikah sama cewek yang disuka dari dulu." Dhira tersenyum jahil. Ia masih ingat dengan perkataan suaminya tempo lalu yang berkata bahwa Nadhif pernah menyukainya dulu.

"Ah, jangan diungkit dong, Dhir. Aku malu." Nadhif menutup mukanya membuat lelaki itu terlihat menggemaskan di matanya.

"Lucu banget, sih, kamu Dhif. Jadi pingin nyium." Dhira masih tersenyum jahil.

"Ya udah sini, nih." Nadhif memajukan wajahnya dengan wajah terpejam dan bibir yang dimonyongkan. Dan itu malah membuat Dhira tak mood untuk mencium lelaki itu, maka ia pun menepuk bibir Nadhif pelan.

"Udah nggak mood." ujar Dhira sedikit kesal.

Nadhif pun berdecak dan kembali duduk seperti semua.

"Oh ya, Dhir, kayaknya nanti sore aku mau pergi. Mau ke rumah Ilham." Nadhif mulai memakan makanannya.

"Ngapain? Ngurus kaos?"

"Bukan, aku ada tugas kuliah. Harus beres minggu ini lagi, padahal susah banget." keluh Nadhif.

Dhira tersenyum, "Ayo semangat! Bentar lagi lulus, lho. Nanti kalau udah lulus kan bisa dapet kerja yang lebih mantap lagi."

"Iya, Dhir. Untung ada kamu sama De Utun yang selalu nyemangatin aku, kalau nggak mungkin aku udah nyerah kuliah. Semester sekarang itu lagi susah-susahnya, belum lagi praktikumnya. Duh." Nadhif kembali mengeluh. Dhira tak keberatan dengan keluhan yang Nadhif lontarkan. Ia malah merasa semakin terpacu untuk terus tidak menyerah, karena setiap Nadhif mengeluh, lelaki itu tak pernah benar-benar berkata ingin menyerah, karena Nadhif selalu memikirkannya dan anak mereka. Keluhan yang Nadhif keluarkan membuat Dhira semakin sadar akan banyak hal yang Nadhif usahakan untuk mereka.

"Makasih, ya, udah mau terus berusaha." seru Dhira tulus.

"Makasih juga udah bawa-bawa anak aku yang setiap hari makin berat." Nadhif terkekeh.

Dhira pun memegang perutnya dan tersenyum, "Ini anak aku juga, lho."

"Iya, kita kan produksinya barengan."

Dhira tertawa. Sungguh, Sabtu siang yang menyenangkan untuknya.

"Dhif, liat kamu pusing kuliah kok aku malah mikirnya kuliah itu asyik, ya." Dhira menahan dagunya dengan tangannya kirinya sedangkan tangan kanannya sibuk memasukan makanan ke dalam mulutnya.

"Asik, kok." balas Nadhif sambil mengunyah makanannya, "Kalau jurusan yang kita ambil itu emang kesukaan kita, ya, asik, seru. Aku juga gitu, kok. Cuman mungkin memang sekarang lagi ada di masa jenuh, capek, dan bawaannya pingin cepet-cepet lulus."

Dhira menganguk paham.

"Kamu pingin kuliah?"

Pertanyaan Nadhif membuatnya terdiam sejenak. "Eung.. aku males belajar, sih. Tapi, kayaknya seru aja gitu kalau belajar sesuatu yang kita suka."

"Nanti kalau aku udah dapat kerjaan tetap dan De Utun udah gede, kamu kuliah aja." saran Nadhif dengan enteng.

"Idih, emang gampang? Mending kerjalah aku daripada pusing-pusing kuliah."

"Katanya tadi pingin kuliah,"

Dhira termenung, "Memang pingin, sih tapi.. bisa?"

"Bisa, Dhir, kalau kita usaha."

"Nanti De Utun gimana? Biayanya?"

Sebetulnya, beberapa hari yang lalu Dhira dan Nadhif sudah pernah berdiskusi. Rencananya Dhira akan berhenti bekerja satu atau dua tahun setelah anak mereka lahir, dan fokus mengurus anaknya. Setelah itu, barulah mereka pikirkan kembali apakah Dhira kembali mencari kerja atau mengurus anaknya. Dan entah kenapa, sejak Dhira belajar menyayangi anaknya, ia berpikir untuk terus fokus mendidik dan merawat anaknya, namun rasanya terlalu kejam jika ia membiarkan Nadhif bekerja sendiri. Ia tahu, Nadhif pun pasti butuh istirahat. Setidaknya, jika ia bekerja juga, ia bisa membantu lelaki itu mencari uang.

"Atau kalau kamu mau, kamu kuliah karyawan atau reguler sore aja. Jadi, pas kamu jadwal kuliah, aku yang nemenin De Utun. Untuk urusan biaya, tenang aja, nanti kan aku udah lulus kuliah, makanya kamu doain aku biar cepet-cepet lulus dan dapat kerja yang gajinya gede."

Dhira tersenyum. Dulu ia pernah bermimpi akan masa depannya, keinginannya begitu mengebu-ngebu demi masa depan yang sukses dan keinginan kuat untuk balas dendam akan masa lalunya. Namun, semua gagal karena dirinya sendiri. Tapi sekarang, bersama Nadhif, Dhira benar-benar merasakan apa itu keinginan yang sesungguhnya. Dan Dhira juga baru tahu, jika merencanakan masa depan bersama Nadhif ternyata semenyenangkan ini. Terlebih, saat ini anaknya pun terlibat dalam rencananya yang mereka buat.

"Selain aku pingin kuliah untuk diri aku sendiri, sekarang aku tahu alasan lainnya, Dhif. Setidaknya, nanti De Utun punya ibu yang pernah kuliah, Dhif. Aku nggak mau keliatan bego depan De Utun nanti. Walaupun kuliah nggak menentukan juga sih, tapi pokoknya aku mau ngasih yang terbaik buat De Utun." Dhira berkata semangat.

"Aku juga mau keliatan keren depan De Utun nanti, Dhir. Makanya aku mau lulus tepat waktu dan cepet-cepet dapat kerja yang bagus, kalau bisa yang setiap hari kerja pake jas."

Setelah itu, Dhira dan Nadhif pun tertawa. Menertawakan keinginan-keinginan mereka yang terdengar lucu. Tapi Dhira tahu, bahwa dalam hati ia benar-benar mengamini harapannya.

Resiliensi | Seri Self Acceptance✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang