Dhira kira Nadhif hanya asal berkata, tapi nyatanya hari ini ia melihat Nadhif yang sedang sibuk memasukan barang-barangnya ke kardus. Katanya nanti sore mereka bisa langsung pindah ke kontrakan yang sudah Reno carikan untuk mereka. Sungguh, Dhira memang senang bisa keluar dari rumah ini. Tapi ini terlalu mendadak. Bahkan Dhira tak yakin apa mereka bisa membayar uang sewa kontrakannya nanti atau tidak.
"Nadhif." Panggilnya. Yang dipanggil langsung menoleh, "Hm?"
Dhira diam sejenak, Nadhif yang melihat itu langsung menghampiri Dhira yang sedang duduk di kasur dan ikut duduk di sampingnya.
"Percaya sama gue, ini beneran Bang Reno yang ngasih duit ke gue, makanya kita bisa ngontrak rumah."
"Duit bisa disimpen, Dhif. Gue nggak pa-pa, kok, kita di sini sampai beberapa bulan lagi." Sejujurnya, Dhira tak percaya dengan perkataan Nadhif. Ia takut keputusan Nadhif untuk pindah karena lelaki itu tak mau melihatnya bertengkar dengan Ima lagi. Ia tak mau Nadhif harus kesulitan jika mereka memutuskan untuk pergi dari rumah ini sekarang. Banyak hal yang masih Dhira ragukan.
"Lo nggak mau pindah, Dhir?"
Dhira mengeleng, "Bukan gitu. Gue mau, kok, tapi ini terlalu mendadak. Bukannya kita udah sepakat bakal pindah nanti?"
"Lebih cepat lebih baik, kan?" Nadhif lalu kembali membereskan barang-barangnya. "Gue juga udah males tinggal di sini. Capek, Dhir, jarak ke kampusnya jauh. Kebetulan gue nyari kontrakannya yang deket kampus, biar kalau lo ada apa-apa juga deket."
"Nenek jadi tinggal sendiri." Ujar Dhira pelan. "Lo nggak khawatir?"
Nadhif berdecak pelan lalu membalikkan badannya menghadap Dhira, "Gue lebih khawatir sama lo, Dhira." Balasnya ketus.
"Kejadian kemarin bukan apa-apa, Dhif. Gue cuman lagi sensi. Gue nggak apa-apa, kok."
"Gue yang kenapa-napa." Nadhif menghela napas pelan, "Ini juga demi kebaikan kita bersama, Dhir. Kali ini aja lo nurut sama gue, kita pindah hari ini."
Meski ragu, Dhira pun mengangguk. Ia lalu membantu Nadhif membereskan barang-barang di kamar mereka. Beberapa menit kemudian, Ima datang dan masuk ke kamar mereka yang kebetulan pintunya tidak ditutup.
"Kenapa mesti mendadak, Nadhif?" Tanya Ima langsung.
"Maaf, Nadhif ngasih tahunya telat, Nek."
"Memangnya kalian punya uang?"
"Punya. Nggak banyak, tapi cukup buat ngontrak rumah."
Dhira hanya diam mendengarkan, ia sibuk memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Ia menunduk, tak ingin menatap Ima, rasanya sakit hatinya akan kembali hadir jika ia berhadapan dengan Ima.
"Yakin?" Tanya Ima sangsi.
Nadhif mendengus pelan, "Bener, Nek. Nadhif bisa, kok, hidup mandiri bareng Dhira."
"Nadhif.. jangan bersikap kekanak-kanakan hanya cuman karena kejadian kemarin."
Dhira mendongkak, menatap heran Nadhif yang sedang terdiam sambil menatap Neneknya.
"Nadhif nggak bersikap kekanak-kanakkan. Nadhif cuman mau buktiin ke Nenek kalau Nadhif bisa buat ngelaluin ini tanpa bantuan siapapun."
***
"Kejadian kemarin tuh kejadian apa maksud Nenek tadi?" Tanya Dhira sambil melirik Nadhif dari kaca spion. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal baru mereka. Sedangkan barang-barang mereka sudah diantar Reno memakai mobil lelaki itu tadi siang.
"Bukan kejadian apa-apa." jawab Nadhif malas.
Dhira berdecak, "Nadhif, gue nggak suka, ya, kalau gue jadi orang yang nggak tahu apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Resiliensi | Seri Self Acceptance✅
Ficción GeneralAndhira tahu hidupnya sudah berantakan. Tapi, bukankah selalu ada kesempatan untuknya memulai hidup yang lebih baik? Dan ia tahu, bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. There is no limit of strunggling. Cover by : canva